INISIATIF para aktivis melaporkan dugaan korupsi pada tender pengadaan gerobak dagang senilai Rp 49,698 milyar ke Direktrorat Tindak Pidana Korupsi, Bareskrim Polri merupakan suatu bentuk kepedulian masyarakat dalam memberantas tindak pidana korupsi di Tanah Air. Pada pelaporan kasus itu, hal terpenting ialah pelapor memiliki informasi yang valid disertai bukti pendukung yang kuat, sehingga dapat membantu penegak hukum dalam mengungkap kasus tersebut.
Demikian diungkapkan Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Riska Andi Fitriono dalam menanggapi pelaporan dugaan korupsi pada tender pengadaan gerobak dagang senilai Rp 49,698 milyar ke Direktrorat Tindak Pidana Korupsi, Bareskrim Polri oleh para aktivis dari Komunitas Pemuda Merah Putih (KPMP) Bergerak.
Sebelumnya, pada Jumat (15/5), aktivis KPMP Bergerak, Yusu Halawa, mengatakan para aktivis melaporkan Putu Indra Wijaya (pejabat di Sekretariat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan) dan Bambang Widianto (KSO leader PT Piramida Dimensi Milenia dengan PT Arjuna Putra Bangsa) ke Direktrorat Tindak Pidana Korupsi, Bareskrim Polri karena diduga melakukan korupsi pada tender pengadaan gerobak dagang senilai Rp 49,698 milyar.
Hal itu disampaikan Yusu Halawa usai menyerahkan laporan di Gedung Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, Jakarta (baca: Dugaan Korupsi Pengadaan Gerobak Dagang Senilai Rp 49,698 Milyar Dilaporkan ke Bareskrim)
“Terkait siapa saja pihak yang berhak melaporkan adanya tindak pidana korupsi ke penegak hukum, hal itu diatur dalam Pasal 108 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000 BAB II tentang Hak dan Tanggung Jawab Masyarakat dalam Mencari, Memperoleh, Memberi Informasi, Saran, dan Pendapat,” kata Riska.
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro itu memaparkan, dalam UU No. 8 Tahun 1981 dan PP No. 71 Tahun 2000 dijelaskan bahwa setiap orang, organisasi kemasyarakatan (ormas), atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi mengenai perkara tindak pidana korupsi.
“Dengan dasar KUHAP dan PP tersebut, masyarakat umum baik secara pribadi atau atas nama ormas/LSM bisa menyampaikan berbagai dugaan adanya tindak pidana korupsi,” urainya.
Riska melanjutkan, salah satu kunci keberhasilan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi ialah berasal dari peran serta dan kepedulian masyarakat dalam melaporkan sebuah kasus korupsi. Menurutnya, hampir semua kesuksesan penegak hukum, seperti prestasi KPK menangkap koruptor, bermula dari laporan masyarakat.
“Penegak hukum menindaklanjuti pengaduan yang masuk bila bukti awal tindak pidana korupsi sudah cukup kuat. Masyarakatlah yang memberikan info awal tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi dan kemudian penegak hukum yang mendalami,” terangnya.
Oleh karena itu, kata Riska, penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sangat mengharapkan peran serta masyarakat. Peran masyarakat terutama dalam hal memberikan akses informasi atau laporan tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi. Informasi yang valid disertai bukti pendukung yang kuat akan sangat membantu penegak hukum dalam menuntaskan sebuah perkara korupsi.
“Karena itulah, kita berharap masyarakat aktif memberikan informasi tentang adanya dugaan tindak pidana korupsi. Pengaduan masyarakat menjadi salah satu sarana efektif untuk memberantas korupsi,” imbuhnya.
Sudah tepat
Sementara itu, terkait pelaporan KPMP Bergerak tentang dugaan korupsi pada tender pengadaan gerobak dagang senilai Rp 49,698 milyar ke Direktrorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri, dosen hukum pidana dari UNS itu menilai sudah tepat.
Dia menerangkan, kewenangan melakukan proses penyidikan oleh kepolisian dapat kita pada Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Di sisi lain, kewenangan penyidik Polri secara tegas diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
Selain sumber hukum tersebut, lanjut Riska, kewenangan untuk melakukan penyidikan oleh kepolisian juga tercantum pada Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
“Di dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-undang No. 2 Tahun 2002 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pokoknya, aparat kepolisian dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya,” jelasnya.
Mengenai pengertian semua tindak pidana yang dinyatakan tersebut, kata Riska, menunjukkan bahwa aparat kepolisian mempunyai kewenangan yang jelas untuk melakukan proses penyidikan terhadap semua tindak pidana yang ada tanpa pengecualian, termasuk melakukan penyidikan terhadap adanya tindak pidana korupsi.
“Jadi, terkait pelaporan dugaan korupsi pada proyek pengadaan gerobak dagang yang dikerjakan KSO PT Piramida Dimensi Milenia dengan PT Arjuna Putra Bangsa Ke Dittipidkor Bareskrim Polri, menurut saya sudah tepat karena Polri juga berwenang menangani kasus tindak pidana korupsi,” pungkasnya. (Krs)