Awas, Kartel Kuasai Bawang Putih (Bagian Pertama)

DI Indonesia, bawang putih merupakan satu dari sejumlah komoditi yang kerap dimanfaatkan untuk meraup keuntungan besar oleh sejumlah perusahaan yang berafiliasi membentuk kartel.

Sebagai defenisi, menurut Wikipedia, kartel ialah kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara di dunia.

Belakangan, tudingan terhadap dugaan praktik kartel bawang putih di Tanah Air kembali mencuat. Pasalnya, menjelang Hari Raya Idul Fitri 2019, harga bawang putih melonjak tajam karena suplai komoditi itu di pasaran minim.

Seperti pada akhir April 2019, harga bawang putih di Kota Bandung, naik hampir 100% dari harga acuan Rp 32 ribu per kg menjadi Rp 50 ribu per kg. Di awal Mei 2019, lonjakan hebat harga bawang putih terjadi di pasar-pasar tradisional di Bengkulu. Konsumen terpaksa membeli komoditi itu di harga Rp 100 ribu per kg dari sebelumnya Rp 40 per kg atau naik 150%.

Menurut kandidat Doktor bidang Ekonomi, Jahmi D M, indikasi dugaan praktik kartel pada lonjakan harga bawang putih sebelum dan pasca-Lebaran 2019, sangat kental. “Prinsipnya sederhana, suplai dibatasi dan di sisi lain permintaan meningkat menjelang Lebaran. Akibatnya, harga akan melonjak. Siapa yang diuntungkan? Tentu perusahaan-perusahaan importir bawang putih, karena mereka lah yang mempunyai stok bawang putih,” kata Jahmi.

Di sisi lain, masyarakat sebagai konsumen menjadi pihak yang dirugikan. Mereka terpaksa merogoh kocek lebih dalam saat berbelanja bawang putih di pasar karena harga melambung. Dalam hal ini, kata Jahmi, kartel bawang putih membatasi suplai untuk mengerek setinggi-tingginya harga bawang putih guna meraup keuntungan besar.

Menurut penelusuran jurnal-investigasi.com, praktik seperti ini sudah berulang kali terjadi. Ironisnya, pemerintah terkesan tak berdaya karena praktik melambungkan harga bawah putih terus terjadi secara berulang.

Masih segar dalam ingatan kita, pada Julli 2013, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) membuat masyarakat Indonesia tercengang.  Pasalnya, KPPU melontarkan pernyataan yang menuding Menteri Perdagangan saat itu, Gita Wirjawan, terlibat dalam praktik kartel bawang putih yang dilakukan oleh 19 importir.

Baca Juga:  Kebal Hukum, Petinggi Bea dan Cukai Lolos dari Jerat Penyidik (Bagian Kedua – Selesai)

Temuan KPPU tersebut ialah terkait praktik kartel yang membatasi kompetisi. Saat itu, Investigator Penuntut KPPU, Muhammad Nur Rofik, mengatakan keterlibatan Gita Wirjawan adalah atas dasar peran Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi, yang memberikan perpanjangan Surat Persetujuan Impor (SPI) kepada 14 importir terdaftar (IT) untuk melakukan importasi bawang putih pada periode Januari-Maret 2013.

Perpanjangan SPI tersebut, menurut Nur Rofik, merugikan pihak importir lain yang akan melakukan kegiatan serupa. Atas hal ini, KPPU menduga Gita Wirjawan melanggar ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Kembali ke lonjakan harga bawang putih baru-baru ini, pada Jumat (9/8), Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memberikan pernyataan bahwa Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan SPI bawang putih sebanyak 600 ribu ton.

Kader Partai Nasdem itu menjelaskan, SPI tersebut dikeluarkan mengacu pada Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang dikeluarkan Kementerian Pertanian. Menurutnya, kebutuhan bawang putih Indonesia per tahun sekitar 490 ribu ton. Pada 2018, RIPH yang dikeluarkan Kementerian Pertanian sebanyak 938 ribu ton.

 

“Kami keluarkan SPI sebanyak 600 ribu ton. Kenapa lebih dari kebutuhan? Hal itu untuk cadangan 2019. Semua SPI yang sudah keluar dan yang sedang mengajukan bisa dilihat di laman Kementerian Perdagangan,” tukasnya.

Keputusan Enggartiasto menerbitkan SPI bawang putih itu mengingatkan kita akan tudingan praktik kartel yang dilontarkan KPPU terhadap mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Alhasil, keputusan Enggartiasto menerbitkan  SPI bawang putih sebanyak 600 ribu ton tersebut menuai pro dan kontra.

Muncul pertanyaan, importir-importir mana saja yang menikmati ‘kue’ berupa kuota impor bawang putih dari Enggartiasto? Dalam menanggapi hal ini, aktivis dari Komunitas Pemuda Merah Putih Bergerak (KPMP Bergerak), SS Marulitua, mengingatkan agar Kementerian Perdagangan memberikan informasi secara transparan ke publik tentang nama-nama importir yang mengantongi kuota bawang putih sebanyak 600 ribu ton tersebut dan jumlah kuota yang masing-masing mereka peroleh.

Baca Juga:  Pemberian Vaksin Covid-19 Dosis Ketiga Gratis, Keselamatan Rakyat Hal Utama

Selain itu, Marulitua meminta agar Kementerian Perdagangan mengawasi secara ketat distribusi bawang putih impor tersebut. “Para importir bawang putih terikat ketentuan tentang tenggat impor dan pendistribusian bawang putih ke pasar. Setelah bawang putih impor sampai di pelabuhan tujuan, para importir harus segera melepas ke pasar sesuai tenggat yang ditentukan Kementerian Perdagangan. Mereka tidak boleh menimbun. Karena, kalau hal itu yang terjadi, suplai bawang putih di pasaran akan menyusut dan berakibat harga melonjak,” kata Marulitua.

Dia menegaskan, Kementerian Perdagangan harus bertanggung jawab penuh terhadap kestabilan harga bawang putih. “Kementerian Perdagangan juga harus bertanggung jawab memberantas kartel bawang putih. Masyarakat butuh bukti, bukan janji-janji manis dari Menteri Perdagangan,” tegasnya.

 

Marulitua kemudian merujuk pada temuan KPPU tentang 19 perusahaan yang terbukti melakukan kartel bawang putih pada periode 2012-2013. Ke-19 perusahaan tersebut, kata Marulitua, setelah mengantongi kuota impor bawang putih, diduga melakukan perjanjian antarpelaku usaha untuk menyepakati harga.

Berdasarkan temuan KPPU, ke-19 perusahaan tersebut terbagi dalam tiga kelompok yang terafiliasi. Kelompok pertama ialah CV Bintang, CV Karya Pratama, CV Mahkota Baru, CV Mekar Jaya, PT Dakai Impex, PT Dwi Tunggal Buana, PT Global Sarana Perkasa, PT Lika Dayatama, PT Mulya Agung Dirgantara, PT Sumber Alam Jaya Perkasa, PT Sumber Roso Agromakmur, PT Tri Tunggal Sukses, PT Tunas Sumber Rejeki. Kelompok ini menguasai pasokan bawang putih sebesar 56,68%.

Adapun kelompok kedua ialah CV Agro Nusa Permai, CV Kuda Mas, CV Mulia Agro Lestari yang menguasai pasokan bawang putih sebesar 14,03%. Sementara itu, kelompok ketiga terdiri PT Lintas Buana Unggul, PT Prima Nusa Lentera Agung, dan PT Tunas Utama Sari Perkasa yang menguasai pasokan bawang putih sebesar 10, 60%.

“Kita tidak mau kelompok-kelompok kartel seperti itu muncul lagi. Kami akan menelusuri secara detail siapa-siapa saja importir yang mendapat kuota bawang putih impor sebanyak 600 ribu ton itu dan siapa-siapa saja orang dibalik para importir tersebut,” ujar Marulitua. BERSAMBUNG (Ald)

Related posts