PERCEPATAN program kendaraan listrik akan mendukung pengurangan impor BBM dan meningkatkan ketahanan energi nasional. Setop impor BBM, khususnya gasolin, diharapkan dapat terjadi sebelum 2030. Ke depan, pemanfaatan kendaraan listrik ditargetkan meningkat signifikan sekaligus mendukung target net zero emission di 2060.
“Untuk mengatasi impor BBM solar, telah sukses melalui implementasi kebijakan mandatori B30 atau pencampuran 30% biodiesel pada solar. Sementara itu, untuk mengatasi impor dan peningkatan demand BBM gasolin ke depan, salah satu upayanya melalui percepatan kendaraan listrik,”, ungkap Koordinator Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian ESDM Ariana Soemanto dikutip dari podcast YouTube The Official Oto yang diunggah 1 Desember 2021.
Proyeksi Kementerian ESDM dalam Grand Strategi Energi Nasional pada 2030, jumlah mobil listrik ditargetkan sekitar 2 juta unit dan motor listrik sekitar 13 juta unit. Pada tahun yang sama, target penyediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sekitar 30 ribu unit dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik (SPBKLU) sekitar 67 ribu unit.
Berbagai upaya mendukung percepatan program kendaraan listrik telah disiapkan. Pertama, terkait dengan aspek regulasi, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan, dan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai.
Kedua, terkait dengan insentif perpajakan, juga diterapkan PPnBM 0% untuk kendaraan bermotor berteknologi battery electric vehicles (BEV) atau fuel cell electric vehicle.
Ketiga, terkait dengan industri kendaraan listrik, sedang dibangun pabrik baterai kendaraan listrik di Karawang, Jawa Barat. Untuk mendorong hilirisasi mineral, melalui Indonesia Battery Corporation (IBC), ekosistem industri kendaraan listrik dibangun dimulai dari pertambangan, mengingat produksi nikel Indonesia salah satu yang terbesar dunia.
Keempat, terkait dengan SPKLU, juga telah disiapkan 3 skema bisnis. Secara umum, ada skema provider (Badan Usaha SPKLU menyediakan listrik sendiri dan menjual ke konsumen kendaraan listrik), skema retailer (Badan Usaha SPKLU membeli listrik dari PLN/Wilus lain dan menjual listriknya ke konsumen kendaraan listrik), atau skema kerja sama (menjadi mitra PLN/Wilus lain dalam menjual listrik ke konsumen kendaraan listrik). Terkait dengan regulasi SPKLU lebih detail, terdapat pada Permen ESDM Nomor 13/2020.
Kelima, terkait dengan biaya pengisian kendaraan listirk, PLN memberikan diskon tarif listrik 30% bagi para pemilik mobil listrik di malam hari mulai pukul 22.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB (home charging). Selain itu, pemilik mobil listrik juga bisa mendapatkan biaya tambah daya listrik di rumah yang lebih murah. Sementara itu, untuk pengisian di SPKLU, fast charging atau ultra fast charging tarifnya sekitar Rp2.460 per kWh atau relatif murah jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang rata-ratanya sekitar Rp5.000 per kWh. Di Amerika, tarifnya kisaran Rp4.010-Rp10.247 per kWh.
Keenam, keuntungan bagi pengguna mobil listrik.
“Biaya bahan bakar kendaraan listrik lebih murah. Misalnya, jarak tempuh kita sehari 30 kilometer. Kalau mobil konvensional jarak 30 kilometer itu, konsumsi Pertalite sekitar 2,5 liter atau Rp20.000. Nah, kalau pakai kendaraan listrik, biayanya hanya sekitar Rp7.000 plus bebas emisi dan ramah lingkungan. Benefit lainnya, jika pakai kendaraan listrik, terbebas aturan ganjil genap,” ungkap Ariana. (RLS/J1)