KOMITMEN PLN dalam mendongkrak porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) juga sejalan dengan menekan angka impor bahan bakar minyak (BBM) melalui konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke pembangkit EBT di Indonesia.
Dilansir dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kamis (3/2), Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan program konversi PLTD ke EBT ini dibagi menjadi 2 tahap.
Tahap pertama, PLN akan mengonversi sampai dengan 250 megawatt (MW) PLTD yang tersebar di beberapa titik di Indonesia. Nantinya, PLTD ini akan diganti menggunakan PLTS baseload. Artinya, ada tambahan baterai agar pembangkit bisa menyala 24 jam.
“Saat ini kami sedang melakukan lelang dalam 1-2 bulan ini. Saat ini sudah ada 160 peserta yang eligible,” ujar Darmawan.
Darmawan menyatakan, dalam lelang ini, PLN membebaskan spesifikasi baterai yang akan dipakai peserta. PLN mengedepankan para peserta bisa meningkatkan inovasi sehingga tercipta baterai yang efisien dan punya keandalan operasi.
“Jadi, teknologi mana yang paling andal dan efisien, yang paling bagus, itu yang menang. Ini membangun inovasi,” ujar Darmawan.
Dengan konversi ke PLTS dan baterai, kapasitas terpasang di tahap pertama ini bisa mencapai sekitar 350 MW sehingga bisa mendongkrak bauran energi terbarukan dan penambahan kapasitas terpasang pembangkit secara nasional.
Dalam tahap dua, PLN akan mengonversi PLTD sisanya sekitar 338 MW dengan pembangkit EBT lainnya sesuai dengan sumber daya alam yang menjadi unggulan di daerah tersebut dan keekonomian yang terbaik.
Untuk rencana konversi ke pembangkit berbahan bakar gas, PLN juga bekerja sama dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dalam upaya konversi ini. Beberapa PLTD yang tahun ini juga digarap bersama PGN mengganti PLTD menjadi pembangkit listrik tenaga gas uap (PLTGU). Program gasifikasi ini menyasar daerah terpencil.
“Kita juga bisa memakai opsi untuk menginterkoneksikan kepada sistem transmisi terdekat yang lebih besar sehingga masyarakat tetap bisa menikmati listrik yang andal,” ujar Darmawan.
Darmawan juga menjelaskan proyek ini targetnya akan rampung pada 2026. Harapannya, sekitar 2.130 titik PLTD yang ada saat ini bisa terkonversi ke pembangkit energi bersih ataupun koneksi ke grid.
Seiring dengan perkembangan teknologi, Darmawan meyakini biaya produksi pembangkit energi baru terbarukan di Indonesia akan semakin kompetitif jika dibandingkan dengan pembangkit fosil.
Hal ini bisa dilihat dari terus turunnya harga PLTS dan baterai. Pada 2015, harga PLTS dipatok USD 25 sen per kilowatthour (kWh). Namun, saat ini harga PLTS mampu ditekan berkisar USD5,8 sen per kWh. Bahkan, dengan tren saat ini, dapat turun di bawah USD4 sen per kWh.
Sementara itu, untuk baterai, Senin (31/1), harganya mencapai USD13 sen per kWh yang dulunya sempat di angka USD50 sen per kWh. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80%.
Mengutip BloombergNEF, harga rata-rata paket baterai tipe Li-ion pada 2020 ialah USD137/kWh yang dulunya sempat di angka USD668/kWh pada 2013. Artinya, ada penurunan biaya hampir 80%.
“Perkembangan teknologi dan inovasi mampu menekan kurangi harga dari pembangkit EBT. Ini menjawab dilema antara energi bersih, tapi mahal atau energi kotor, tapi murah. Ini bisa dijawab bahwa dalam kurun waktu, energi bersih dan murah bisa dicapai,” tegas Darmawan. (J1)
5 comments