Setop Kekerasan Seksual, KemenPPPA Berharap RUU TPKS Segera Disahkan

Setop Kekerasan Seksual, KemenPPPA Berharap RUU TPKS Segera Disahkan
(Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)

KEMENTERIAN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyoroti kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sawah Besar, Jakarta Pusat. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Ratna Susianawati menyatakan prihatin dan mengecam keras tindakan pelaku A, 22, atas tindakan pemerkosaan, pencurian, dan pembunuhan terhadap AW, 20, pada Jumat (4/3) di kontrakannya di Sawah Besar, Jakarta Pusat.

Diketahui, A membunuh W dengan motif sakit hati karena cintanya ditolak. Dikutip dari situs Polda Metro Jaya, selain melakukan pembunuhan, polisi menduga pelaku juga melakukan perkosaan terhadap AW karena ditemukan bekas air mani saat olah tempat kejadian perkara (TKP) di kamar indekos korban.

Ratna juga meminta kepada penegak hukum agar pelaku tersebut dihukum berat.

“Kita sama-sama memantau proses hukumnya untuk akses keadilan bagi keluarga korban,” tegas Ratna.

Pihak kepolisian telah melakukan olah TKP dan menemukan adanya tanda–tanda kekerasan seksual sebelum korban diakhiri hidupnya oleh pelaku. Pihak kepolisian kemudian telah menangkap pelaku, juga melakukan pemeriksaan kepada para saksi dan keluarga korban.

Ratna juga menegaskan pihaknya selalu melakukan advokasi dan sosialisasi terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan sehingga ia yakin kasus tersebut dapat terselesaikan sesuai aturan hukum yang berlaku.

Kejahatan seksual saat ini bisa terjadi di mana, kapan, dan menimpa siapa saja. Tidak hanya terjadi di area publik, tetapi juga ruang privat seperti di dalam rumah tangga dengan pelakunya orang terdekat korban. Kejahatan seksual juga tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga perdesaan dan merata di semua wilayah Indonesia.

Belakangan ini, kekerasan seksual sering kali menimpa anak-anak, bukan hanya anak perempuan, melainkan juga pada anak laki-laki, meskipun korban terbesar tetaplah perempuan dan anak perempuan.

“Pemberitaan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak dari media sebenarnya baru kasus kekerasan seksual yang terungkap. Kami yakin kasus yang terjadi sesungguhnya jauh lebih besar karena hal itu bagaikan fenomena gunung es. Terlebih, banyak korban kekerasan seksual memilih diam dalam sunyi, tidak tahu apa yang harus dilakukan, merasa sendirian, dan putus asa seolah dunia telah runtuh menimpa dirinya. Tidak sedikit yang memilih menanggung sendiri meskipun sering berujung pada depresi dan akhirnya mengakhiri hidup. Bahkan, yang lebih parah pelaku kemudian yang mengakhiri hidup korban agar jejak kejahatannya tidak diketahui,” ujar Ratna.

Baca Juga:  Arus Balik, Kemenhub Siagakan Tambahan Kapal di Titik Krusial

Ratna juga mengungkapkan salah satu penyebab kejahatan seksual terus terjadi karena belum adanya payung hukum yang komprehensif atau lex specialis derogat legi generalis yang bersifat khusus untuk menangani masalah kekerasan seksual dan berperspektif korban untuk mendapatkan hak atas keadilan, hak atas kebenaran, dan hak atas pemulihan. RUU TPKS ada untuk menjawab kekosongan hukum terkait dengan masalah kekerasan seksual serta membawa perspektif dan semangat baru dalam memberikan perlindungan pada korban kekerasan seksual.

RUU TPKS juga tidak sekadar membawa semangat menghukum pelaku, tapi juga bertujuan mencegah dan menghentikan terjadinya kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, praktik pelacuran secara paksa, serta perbudakan dan penyiksaan seksual di dalam rumah tangga, tempat kerja, dan ruang publik.

Lebih lanjut, Ratna mengapresiasi kerja cepat aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus kekerasan seksual yang terjadi di wilayah Jakarta Pusat sebab penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tentunya tidak dapat dilakukan sendiri, tapi membutuhkan kerja sama lintas sektor, baik dari lembaga layanan pendamping korban, aparat penegak hukum, maupun Kementerian/Lembaga terkait.

“Kami turut prihatin dan berbelasungkawa jika sampai dengan detik ini masih ada perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Kita semua setuju jika aturan harus ditegakkan sebagaimana ketentuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi. Selama ini, kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga terkecil, keluarga,” ujar Ratna.

KemenPPPA berharap RUU TPKS ini dapat segera disahkan dan dapat menjadi payung hukum yang tidak hanya akan membuat jera pelaku kekerasan, tapi juga membuat masyarakat memahami dampak kekerasan seksual yang ditimbulkan sehingga tidak memiliki tendensi untuk melakukan kekerasan seksual terhadap siapa pun serta memiliki pengetahuan tentang perilaku apa saja yang bisa disebut dengan kekerasan seksual. KemenPPPA juga berharap apabila ada masyarakat yang mendapatkan kekerasan, dapat melaporkan hal tersebut sesuai kampanye yang selama ini telah dilakukan KemenPPPA, Dare to Speak Up.

Keberanian korban melaporkan permasalahan kekerasan seksual tentunya harus diapresiasi, bukan malah dipojokan. Tidak jarang korban kekerasan seksual kemudian kembali menjadi ‘korban’ (victim blaming) karena ia yang kemudian menjadi dikucilkan atau dianggap penyebab dari terjadinya kekerasan seksual yang menimpanya.

Baca Juga:  Kementerian Perdagangan Dorong Sertifikasi Halal bagi UMKM Guna Raih Peluang Pasar Halal Dunia

Masyarakat dapat melaporkan kekerasan seksual yang diketahui ataupun dialaminya kepada lembaga yang berwenang di daerah, seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinas PPPA) dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) setempat atau dapat juga menghubungi layanan Sahabat Perempuan dan Anak (Sapa) 129 melalui Call Center 129 dan WhatsApp 08111-129-129. (RLS/J1)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *