Sembako Kena Pajak, Ekonom: Pemerintah Harus Jujur

ilustrasi PPN Sembako : Devi

RENCANA pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk kebutuhan pokok atau sembako menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Wacana itu dinilai janggal karena kondisi daya beli masyarakat turun akibat pandemi covid-19.

Seperti diketahui, pada kebijakan sebelumnya yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017, sembako atau jenis-jenis kebutuhan pokok bebas dari tarif PPN.

Barang tersebut meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam dan gula konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, serta bumbu-bumbuan.

Namun, pemerintah berencana mengenakan PPN sembako yang tertuang dalam Draf Revisi Kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Ekonom Senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan rencana pemerintah mematok PPN terhadap barang kebutuhan pokok membuat daya beli masyarakat makin turun di tengah pandemi covid-19 yang belum berakhir. Itu karena pada akhirnya, masyarakat sebagai konsumen yang harus menanggung PPN lewat kenaikan harga.

“Dampak pandemi enggak bisa selesai 1-2 tahun. Kalau pemerintah ini sudah mulai membahas dari sekarang, paling tidak kan 2022-2023 itu diimplementasikan. Padahal, pemulihan konsumsi rumah tangga atau daya beli tidak mungkin selesai 2-3 tahun,” ujar Enny saat dihubungi Jurnal-Investigasi, hari ini.

Enny menegaskan RUU KUP itu bertentangan dengan keadilan. Ia membandingkan kebijakan pemerintah yang memberikan relaksasi perpajakan kepada masyarakat golongan menengah ke atas dengan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil ditanggung pemerintah.

“Kalau alasannya multitarif dianggap satu keadilan, praktik yang dilakukan pemerintah tidak seperti itu. Pemerintah merelaksasi PPnBM, justru memasukkan sembako yang selama ini bebas PPN. Ini penuh keajaiban,” jelasnya.

Menurutnya, skema multitarif yang akan diterapkan pemerintah bukan perkara mudah. Masalahnya, data pangan Indonesia masih amburadul. Padahal, akurasi data pangan ini sangat penting dalam menetapkan jenis barang yang akan dijadikan objek pajak.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, dengan akurasi data pangan yang masih amburadul, pengawasan PPN dengan skema multitarif pada bahan makanan relatif sulit jika dibandingkan dengan barang retail lain dan biaya administrasi pemungutan menjadi mahal karena sembako termasuk barang yang memiliki rantai pasok panjang.

Baca Juga:  Indonesia Dorong Penguatan Kerja Sama APEC dalam Pemulihan Ekonomi Pascapandemi Covid-19

Enny juga menyoroti komunikasi buruk yang dilakukan pemerintah soal RUU KUP. Menurutnya, alasan pemerintah selalu berubah, mulai untuk pemulihan ekonomi sampai sebagai bentuk keadilan.

“Ini sangat janggal. Mengapa aturan yang sangat teknis dan pemberlakuannya masih menunggu kondisi yang memungkinkan, dipaksakan dibahas ketika ada revisi UU KUP,” kata Enny.

Menurutnya, aturan pengenaan tarif serta kategorisasi barang objek pajak cukup di ranah eksekutif dengan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK).

“Yang namanya UU itu berisi sifat payung hukum atau norma dasar peta jalan perpajakan ke depan.  Mau itu sembako kena pajak 12%, 10%, 1% itu urusan teknikal, cukup dengan PMK,” kata Enny.

“Publik lalu mengaitkan alibi pemerintah untuk membahas ini secepatnya. Ini menimbulkan ketidakpastian. Jadi, yang dibutuhkan masyarakat adalah kejujuran; pemerintah maunya apa?” imbuh Enny. (AF/J1)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *