UNDANG-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan hadiah yang tidak ternilai bagi segenap insan pers di Tanah Air.
UU tersebut menandai dimulainya kegiatan pers nasional secara bebas dan independen tanpa harus takut terhadap upaya pembredelan oleh penguasa.
Di era Orde Baru, yakni sebelum lahirnya UU Pers, pemerintah memegang peranan dominan atas keberlangsungan kegiatan pers di Tanah Air. Kala itu, rezim Orde Baru mengharuskan perusahaan pers nasional mengantongi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
SIUPP dipakai untuk menakut-nakuti pers. Jika penguasa menilai pemberitaan sebuah perusahaan pers berseberangan dengan pemerintah, SIUPP kemudian dipakai untuk membungkam pers.
Satu per satu perusahaan pers nasional yang berani lantang mengkritik pemerintah dibredel. Selama rezim Orde Baru berkuasa, pers nasional hidup dalam bayang-bayang pembredelan.
Memasuki era Reformasi pada pertengahan 1998, pers nasional mulai berani tampil berbicara lugas. Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie yang menjadi orang nomor satu di Indonesia saat itu, setelah penguasa Orde Baru (Presiden Soeharto) lengser, mendukung secara penuh kebebasan pers nasional.
Sebagai langkah konkrit, Habibie kemudian mendorong penggodokan dan menginisiasi lahirnya UU Pers. Di suatu kesempatan pada Agustus 2017, Habibie berkisah tentang alasan mengapa dia mendukung kebebasan pers di Tanah Air.
“Sebagai presiden, saya perlu mendapatkan masukan tentang permasalahan-permasalahan yang dialami rakyat. Kalau informasi saya dapat dari para menteri dan orang-orang istana, tentu tidak semua informasi bisa saya dapatkan. Karena itu, saya memberikan kebebasan untuk pers agar ikut berkontribusi mengungkapkan permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapi bangsa. Pers bisa leluasa mengkritik. Sebagai presiden, saya tidak takut dikritik dan tidak anti terhadap kritik. Malah saya senang dikritik, karena dengan adanya kritik saya bisa tahu apa saja yang menjadi permasalahan di masyarakat,” kata Habibie.
Sebagai pemimpin, Habibie menunjukkan sikap seorang negarawan. Dia tidak antikritik dan terbuka menerima kritikan dari rakyatnya.
Pada 23 September 1999, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers disahkan di Jakarta oleh Presiden Republik Indonesia ke-3, BJ Habibie.
Itu menjadi kado terindah yang tak ternilai bagi insan pers di Tanah Air. Sejak saat itu, tidak ada lagi pembredelan terhadap pers.
Para jurnalis dapat melakukan kegiatan peliputan tanpa harus khawatir terhadap ancaman dari pihak manapun. Indonesia kini sudah sejajar dengan negara-negara maju yang menganut paham demokrasi dan kebebasan pers.
Terima kasih Bapak Habibie. Selamat jalan Bapak Kebebasan Pers Indonesia.