SA Institut Dukung Penghentian Kasus Nurhayati sesuai Mekanisme Hukum

SA Institut Dukung Penghentian Kasus Nurhayati sesuai Mekanisme Hukum

DIREKTUR Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) Suparji Ahmad mendukung penyelesaian kasus Nurhayati secara hukum yang berlaku. Nurhayati ditetapkan tersangka seusai melaporkan kepala desanya yang melakukan korupsi.

Mekanisme hukum yang dimaksud Suparji bahwa apabila berkas sudah P-21, yang harus menghentikan kasus ialah kejaksaan, bukan dari kepolisian melalui SP3.

“Apabila berkas udah P-21, artinya berkas telah dinyatakan lengkap secara formal dan materiil untuk disidangkan. Kewajiban penyidik sesuai hukum acara pidana adalah menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum, bukan malah menghentikan penyidikan,” kata Suparji dalam keterangan persnya, Selasa (1/3).

Ia menegaskan bahwa SP3 diterbitkan sebelum berkas dinyatakan lengkap secara formal maupun materiil. Artinya, yang mempunyai kewenangan untuk menghentikan kasus Nurhayati ialah kejaksaan.

“Apabila ada kepentingan umum, Jaksa Agunglah yang berwenang mengesampingkan perkara berdasarkan asas oportunitas dan dominus litis jaksa. Maka, penyidik agar menghargai lembaga prapenuntutan sebagaimana diatur KUHAP,” paparnya.

“Seperti kasus-kasus sebelumnya, ada pencurian motor untuk memenuhi biaya hidup, misalnya. Itu yang mengesampingkan perkara adalah kejaksaan,” sambung akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini.

Lebih lanjut, pada pokoknya, ia mendukung Nurhayati dilepaskan dari jerat hukum, tapi harus sesuai hukum acara pidana yang berlaku. Maka, ia berharap ke depan Polri lebih selektif dalam menindaklanjuti perkara.

“Penyidik harus punya sensitivitas terhadap keadilan dalam menindaklanjuti perkara. Maka, kasus ini harus menjadi pelajaran karena dikhawatirkan masyarakat yang melapor kejahatan justru ditersangkakan,” pungkasnya.

Pada sisi lain, ia mengingatkan bahwa sebuah perkara pidana harus dibuka seterang-terangnya dan tidak menutupi perkara yang lebih besar dengan mengedepankan berbagai isu, misalnya whistleblower. Itu karena mungkin saja terjadi seorang whistleblower dihukum karena perannya dalam tindak pidana yang dilaporkan begitu signifikan.

“Atau bahkan whistleblower hanya melaporkan kasus yang kecil, tapi ia menutupi kasus lebih besar yang telah dilakukannya. Oleh karena memandang sebuah kasus pidana, seharusnya komprehensif dan penuh kearifan,” pungkasnya. (RLS/J1)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *