PUMMA, Perangkat Pendeteksi Tsunami dari KKP

PUMMA, Perangkat Pendeteksi Tsunami dari KKP
(Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan)

TSUNAMI akibat erupsi Gunung Tonga di Polinesia, Samudra Pasifik, terdeteksi di wilayah Indonesia meskipun skalanya kecil dan tidak memicu kerusakan, dengan ketinggian amplitudo gelombang sejengkal (maksimum 40 cm).

Tsunami tersebut terdeteksi oleh Inexpensive Device for Sea Level Measurement (IDSL) atau Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air Laut (PUMMA) yang dipasang di sepanjang pesisir selatan Pulau Jawa dan pantai barat Pulau Sumatra.

”PUMMA dilengkapi dengan sistem peringatan otomatis saat terjadi anomali muka air dan berhasil mendeteksi gelombang tsunami di Pelabuhan Perikanan Prigi (Jawa Timur) pada 15 Januari 2022 pukul 13.13 UTC (pukul 20.14 WIB) atau kurang dari 9 jam pascaletusan pulau gunung api di Tonga, persisnya 8 jam 47 menit,” papar Peneliti Tsunami Pusat Riset Kelautan Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Semeidi Husrin, Rabu (26/1).

“Diperkirakan kecepatan dari shock waves ini mencapai sekitar 300 meter per detik. Artinya, gelombang ini dapat mencapai Indonesia (8 ribu km) dalam kurun waktu 7 jam. Hal inilah yang menyebabkan gelombang tsunami pertama (meteotsunami) tercatat oleh PUMMA kurang dari 9 jam pascaletusan gunung api. Seiring waktu, beberapa tsunami yang biasa pun akhirnya tiba di Indonesia dan terdeteksi oleh PUMMA. Hal ini menjelaskan mengapa peringatan tsunami dikeluarkan hingga 36 kali oleh PUMMA,” lanjutnya.

Lebih jauh disampaikan Semeidi, gelombang tsunami yang terekam jaringan PUMMA di Indonesia ternyata bukanlah yang biasa yang selama ini dipahami masyarakat awam maupun sebagian kalangan saintis, terutama mereka yang tidak pernah belajar mengenai fenomena tersebut yang dibangkitkan aktivitas gunung api. Gelombang tsunami ini walaupun hanya memiliki ketinggian amplitudo sejengkal, dengan sangat jelas terdeteksi oleh perangkat PUMMA yang terpasang di Prigi, Trenggalek, yang telah mengirimkan sinyal ALERT sebanyak 36 kali secara otomatis pada peristiwa ini.

“Analisis lebih jauh memperlihatkan bahwa tsunami yang terekam PUMMA akibat letusan Pulau Gunung Api Tonga terdiri atas 2 tipe gelombang tsunami, yaitu ‘meteotsunami’ akibat adanya gelombang kejut (shock wave) dari letusan gunung api yang menjalar di atmosfer dan berinteraksi dengan permukaan laut dan tsunami ‘biasa’ yang menjalar dari sumbernya secara hidrodinamika akibat proses terganggunya muka air di lokasi letusan gunung api tersebut,” terangnya.

Baca Juga:  KKP Kibarkan Merah Putih di Bawah Laut Mandeh Sumbar 

Untuk diketahui, istilah ‘meteotsunami’ juga pertama kali dikemukakan peneliti Jepang Nomitsu pada 1935 karena berbagai persamaan dari karakteristik gelombang tersebut dengan tsunami, hanya penyebabnya yang berbeda.

Tsunami selama ini selalu diasosiasikan dengan kejadian gelombang besar yang disebabkan oleh akitivitas geologi seperti gempabumi, gunung api dan longsoran bawah air yang mengganggu badan air sehingga terbentuk gelombang yang menjalar cepat di lautan dan mencapai daratan dengan tinggi gelombang yang jauh lebih tinggi serta merusak.

“Gangguan (tsunami) pada badan air ini juga bisa disebabkan oleh aspek di luar fenomena geologi seperti perubahan tekanan udara yang terjadi secara tiba-tiba (pressure jump). Perubahan tekanan yang terjadi secara tiba-tiba dapat mengakibatkan gangguan pada badan air dan membangkitkan gelombang tinggi yang dikenal sebagai meteotsunami. Meteotsunami memiliki karakteristik fisik yang sama persis dengan tsunami biasa yang disebabkan oleh aktivitas geologi,” ungkap Semeidi.

IDSL/PUMMA telah terpasang di 8 lokasi, yaitu Pulau Sebesi, Marina Jambu, Pangandaran, Pelabuhan Sadeng, Pelabuhan Prigi, Pelabuhan Ratu, PPS Bungus, dan TPI Tua Pejat Mentawai. IDSL merupakan hasil kerja sama antara Pusat Riset Kelautan BRSDMKP KKP dengan JRC the European Commission, Badan Informasi Geospasial (BIG), Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (Iatsi), dan institusi-institusi lainnya di Indonesia. Data dan sistem peringatan IDSL sudah masuk ke jaringan BMKG sebagai otoritas peringatan dini tsunami di Indonesia.

“Dengan beroperasinya IDSL selama 3 tahun dan keberhasilannya dalam mendeteksi tsunami Tonga serta kejadian-kejadian sebelumnya, membuktikan kinerja yang sangat baik sebagai alternatif penguatan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia. Selain itu, IDSL juga memiliki kelebihan, yaitu harga yang murah; mudah dibuat, dipasang, dan perawatan; memanfaatkan jaringan infrastruktur eksisting; melibatkan masyarakat dan dapat diproduksi di Indonesia; serta didukung secara internasional. Untuk saat ini, IDSL sebagian besar dipasang di fasilitas milik KKP, dalam hal ini pelabuhan perikanan yang faktanya berada di garis terdepan mendeteksi fenomena tsunami,” ucap Semeidi.

Baca Juga:  Kemendag Teken MoU dengan Pemerintah Swiss Terkait Promosi Perdagangan

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menegaskan bahwa KKP memiliki tanggung jawab dalam upaya mitigasi bencana selain berurusan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (WP3K). (RLS/J1)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *