PERUBAHAN iklim ialah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas, kemitraan, kerja sama, dan kolaborasi global merupakan kunci.
Saat berbicara di KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelaskan dengan potensi alam yang begitu besar, Indonesia terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim.
“Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82% pada 2020,” ujar Presiden Jokowi di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia, Senin (01/ 10).
Tak hanya itu, Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektare sampai 2024, terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019.
“Sektor yang semula menyumbang 60% emisi Indonesia akan mencapai carbon net sink selambatnya 2030,” imbuhnya.
Di sektor energi, Indonesia juga terus melangkah maju dengan pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit tenaga surya terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, Indonesia juga memanfaatkan energi baru terbarukan, termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.
“Hal itu tidak cukup. Kami, terutama negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan potensi dihijaukan serta negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon, membutuhkan dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju,” jelasnya.
Presiden memastikan bahwa Indonesia akan terus memobilisasi pembiayaan iklim dan inovatif, seperti pembelanjaan campuran, obligasi hijau, dan sukuk hijau. Menurut Presiden Jokowi, penyediaan pendanaan iklim dengan mitra negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang.
“Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia. Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Program apa yang didukung untuk pencapaian target SDGs yang terhambat akibat pandemi?” tegasnya.
Selain itu, Presiden melanjutkan carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu perubahan iklim. Ekosistem ekonomi karbon yang transparan, berintegritas, inklusif, dan adil harus diciptakan.
Sebagai penutup, di KTT ini atas nama Forum Negara Kepulauan dan Pulau Kecil (AIS), Presiden Jokowi menyebut bahwa Indonesia merasa terhormat dapat menyirkulasikan pernyataan bersama para pemimpin AIS Forum.
“Sudah menjadi komitmen AIS Forum untuk terus majukan kerja sama kelautan dan aksi iklim di UNFCCC,” tandasnya.
Turut mendampingi Presiden dalam acara tersebut, yaitu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. (RLS/J1)