MAJELIS Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kota Bandung menjatuhkan vonis seumur hidup terhadap terdakwa Herry Wirawan, pelaku kekerasan seksual terhadap anak, Selasa (15/2). Atas putusan yang dibacakan, tim Jaksa Penuntut Umum yang dipimpin Kajati Jabar Dr Asep N Mulyana menyatakan pikir-pikir.
Pengasuh Pondok Pesantren Madani Boarding School, Cibiru, Bandung, itu, divonis penjara seumur hidup setelah memperkosa 13 santriwati yang menyebabkan beberapa orang hamil dan melahirkan.
Atas perbuatannya, majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 81 ayat (1), (3), dan (5) jo Pasal 76D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan primer.
Karena perbuatan predator seksual tersebut, jaksa penuntut umum menuntut Herry Wirawan dengan hukuman mati, juga meminta tambahan hukuman berupa kebiri kimia, mengumumkan identitas terdakwa, hingga denda Rp500 juta subsider 1 tahun kurungan dan mewajibkan terdakwa membayar restitusi (ganti rugi) kepada korban sebesar sekitar Rp331 juta.
Selain itu, jaksa juga meminta hakim membekukan, mencabut, dan membubarkan yayasan yang dikelola Herry, yakni Manarul Huda Parakan Saat, Madani Boarding School, Pondok Pesantren Madani, serta merampas seluruh harta kekayaan Herry.
“Jadi, intinya bahwa itu bukan keinginan kami. Bukan kami yang menanggapi dan memutuskan putusan hakim, tapi nanti terdakwa yang akan memilih sikapnya, menerima, banding atau pikir-pikir,” ucap Ira Mambo, kuasa hukum Herry, seusai persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Bandung dikutip detik.com, Selasa (15/2).
Ira menjelaskan bahwa kliennya mengambil sikap pikir-pikir selama 7 hari. Ia memberikan sepenuhnya keputusan itu kepada kliennya. Jika ingin menyatakan banding, pihaknya akan menyiapkan memori banding.
Lebih lanjut, hakim mengabulkan restitusi sebesar sekitar Rp331 juta dan dilimpahkan ke negara. Hakim menilai, pembayaran dilakukan pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Di lain sisi, hakim tidak mengabulkan kebiri kimia terhadap Herry disebabkan putusan yang diberikan ialah penjara seumur hidup.
“Tidak mungkin setelah terpidana mati menjalani eksekusi mati atau menjalani pidana seumur hidup dan terhadap jenazah terpidana dilaksanakan kebiri kimia. Lagipula pasal 67 KUHP tidak memungkinkan dilaksanakan pidana lain apabila sudah pidana mati atau seumur hidup,” kata hakim dilansir detik.com.
Kemudian, hakim juga tidak mengabulkan denda Rp500 juta. Hakim menilai bahwa tuntutan denda Rp500 juta tersebut dirasa berlebihan.
“Menimbang bahwa tentang tuntutan penuntut umum denda yang dijatuhkan terhadap terdakwa, yaitu sebesar Rp500 juta dengan subsider 1 tahun kurungan, majelis berpendapat berdasarkan Pasal 67 KUHP, ketika orang dijatuhi hukuman mati dan pidana penjara seumur hidup, di samping itu tidak boleh dijatuhi pidana lagi,” ujar hakim yang diketuai Yohanes Purnomo Suryo dikutip detik.com.
Sementara itu, KemenPPPA yang telah mengikuti sidang pembacaan putusan Majelis Hakim PN Bandung terhadap Herry Wirawan menghormati putusan penjara seumur hidup dan berharap akan menimbulkan efek jera.
“KemenPPPA menghormati putusan penjara seumur hidup meski putusan hakim tidak sama dengan tuntutan JPU. Saya mengharapkan setiap vonis yang dijatuhkan hakim dapat menimbulkan efek jera, bukan hanya pada pelaku, tapi dapat mencegah terjadinya kasus serupa berulang,” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga dalam rilisnya, Selasa (15/2).
Terkait dengan putusan restitusi sebesar sekitar Rp331 juta, KemenPPPA masih menunggu incracht dan akan membahasnya dengan LPSK
“Terhadap penetapan restitusi masih menunggu putusan yang incracht dan saat ini KemenPPPA akan membahasnya dengan LPSK,” kata Bintang.
Namun, Bintang menegaskan putusan hakim terhadap penetapan restitusi tidak memiliki dasar hukum. Dalam kasus ini, KemenPPPA tidak dapat menjadi pihak ketiga yang menanggung restitusi.
Sebagai informasi, merujuk pada Pasal 1 UU 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dimaksud dengan Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Restitusi tidak dibebankan kepada negara.
Di samping restitusi, majelis hakim juga menetapkan 9 orang para korban dan anak korban diserahkan perawatannya kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Barat, dengan dilakukan evaluasi secara berkala dan jika dalam waktu tertentu para korban dan anak korban dinilai sudah pulih secara fisik dan mental, maka akan dikembalikan kepada keluarganya.
“KemenPPPA mengapresiasi putusan yang mengatur keberlanjutan pemenuhan hak anak-anak korban dan upaya perawatan fisik dan psikis sembilan korban dan para anak korban di bawah pantauan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam hal ini UPTD PPA Provinsi Jawa Barat,” ungkap Bintang. (J1)