Pengawasan Terintegrasi Berbasis Teknologi: Solusi Penguatan Pemeriksaan Bagi Wajib Pajak Badan Atas Kewajiban Perpajakannya (Lomba Menulis Artikel tentang Pajak)

Foto: Ist

RESEP dokter bukanlah sebuah mantra ajaib yang dapat menyembuhkan penyakit dalam sekejap. Untuk kembali pulih, perlu adanya upaya dan komitmen untuk mengonsumsi obat secara teratur. Gambaran ini, mendeskripsikan hukum di Indonesia. Aturan yang dikeluarkan pemerintah, tidak akan mampu untuk mengatasi suatu permasalahan apabila tidak dibarengi dengan upaya penegakkan hukum. Dalam menjalankan tugasnya, aparat hukum tentu membutuhkan partisipasi dan dukungan dari masyarakat. Tidak terkecuali hukum perpajakan.

Di Indonesia, pajak menyumbang 82,5% penerimaan negara (APBN, 2019). Tingginya persentase ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat bergantung pada penerimaan pajak. Kendati demikian, sistem pemungutan yang bersifat self assessment cenderung menjadi kesempatan bagi wajib pajak (WP) untuk menghindar dari kewajibannya. Tindakan ini acap kali dilakukan oleh WP Badan yang sudah tidak awam dengan bentuk strategi tax planning. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya rasio kepatuhan perpajakan yang tidak mencapai standar OECD, yakni 85% (DDTC, 2020).

Berbicara terkait rasio kepatuhan, WP Badan cenderung memiliki rasio yang lebih rendah bila dibandingkan dengan WP Orang Pribadi. Padahal, menurut Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo, WP Badan memiliki potensi pajak yang lebih besar (ortax.org, 2020). Sehingga, perlu adanya tindakan tegas sebagai upaya untuk memaksimalkan potensi penerimaan pajak, salah satunya ialah dengan melakukan intensifikasi terhadap WP Badan. Intensifikasi dapat dilakukan melalui pengawasan secara terintegrasi dari dua sisi. Artinya, selain bentuk pengawasan secara eksternal dari otoritas perpajakan, perlu adanya kesadaran dan pengoptimalan sistem perpajakan di dalam internal WP Badan.

Saat ini, otoritas perpajakan mengandalkan teknologi guna menjalankan tanggung jawab pengawasannya. Teknologi tersebut ialah Compliance Risk Management (CRM), sebuah sistem yang mampu digunakan untuk melakukan analisis risiko kepatuhan. Sistem ini diluncurkan pada September 2019 silam melalui SE 24/PJ/2019. CRM mampu menghasilkan data berupa peta kepatuhan WP untuk diketahui terkait profil risikonya. Analisis risiko dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan WP yang berisiko terhadap berkurangnya penerimaan pajak negara (InsideTax, 2019). Selain itu, CRM juga dapat menghasilkan sebuah Daftar Prioritas Pengawasan yang berisikan list WP yang menjadi prioritas objek pengawasan sepanjang tahun berjalan. Melalui kedua data ini, otoritas perpajakan dapat mengejar seluruh WP Badan yang terbiasa ‘mengemplang’ pajak.

Baca Juga:  Masalah yang Dihadapi Pelaporan Pajak Secara Daring (Lomba Menulis Artikel tentang Pajak)

Meskipun data tersebut merupakan olahan sebuah sistem, otoritas perpajakan tetap membutuhkan sumber daya manusia yang mampu menahkodai teknologi tersebut. Di lain sisi, WP Badan, terutama startup, tentu memiliki sumber daya manusia yang lebih ‘mumpuni’ di bidang teknologi  digital. Oleh karena itu, bentuk pengawasan internal secara mandiri sebenarnya mampu mendorong pengoptimalan pengawasan WP.

Bentuk pengawasan secara mandiri dilakukan dengan mengimplementasikan Good Corporate Governance (GCG). GCG mewadahi berbagai bentuk dan aktivitas internal control (DDTC, 2020). Menurut OECD, internal control mencakup segala manajemen risiko, termasuk risiko atas pengelolaan perpajakan badan. Tingginya tingkat sensitivitas topik ini, mendorong munculnya sebuah kerangka sistem pengendalian internal yang berfokus pada perpajakan atau biasa disebut dengan tax control framework (TCF). TCF merupakan kerangka yang dijadikan pondasi dalam pengawasan seluruh keakuratan dan kelengkapan pelaporan kewajiban perpajakan WP Badan. Menurut OECD dalam reportnya yang berjudul Cooperative Tax Compliance: Building Better Tax Control Framework, TCF mampu berperan sebagai pengendali atas segala transaksi dan aktivitas internal perusahaan yang memiliki konsekuensi perpajakan kedepannya.

Pengimplementasian pengawasan secara mandiri oleh WP Badan akan mempermudah otoritas perpajakan dalam melaksanakan tanggung jawab pengawasannya. Selain itu, pengintegrasian kedua kebijakan melalui teknologi ini mampu menghasilkan benefit yang maksimal dan menekan cost yang terjadi. Kedua cost tersebut ialah compliance cost bagi WP dan administrative cost bagi otoritas perpajakan. Dengan demikian, pengintegrasian kedua bentuk pengawasan melalui intensifikasi tentu akan mempercepat gerak otoritas perpajakan dalam mencapai target rasio tingkat kepatuhan WP Badan.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *