MAHKAMAH Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Permohonan diajukan Euis Kurniasih, Jerry Indrawan G, Hardiansyah, A Ismail Irwan Marzuk, Bayu Widiyanto, dan Musono.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” tegas Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan kutipan amar Putusan Nomor 62/PUU-XIX/2021 dalam sidang yang digelar di MK secara daring, Selasa (29/3).
Dalam pendapatnya, Mahkamah menyampaikan bahwa peran TNI sebagai alat pertahanan negara bertugas menegakkan kedaulatan rakyat, menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan negara.
Seiring perkembangan global, ancaman terhadap keutuhan bangsa dan negara tidak hanya berasal dari militer, tetapi juga nonmiliter. Pertahanan negara memerlukan keterpaduan militer dan nonmiliter melalui usaha membangun kekuatan dan kemampuan yang kuat.
“Sejalan dengan peran Polri sebagai alat negara, juga memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, pelayanan kepada masyarakat, sehingga wajib memiliki keahlian dan keterampilan secara profesional,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat yang membacakan pendapat Mahkamah.
Batas Usia Pensiun TNI
Berkaitan dengan batas usia pensiun TNI yang berdasarkan para pemohon perlu disetarakan dengan Polri, menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan dan jenis serta spesifikasi, juga kualifikasi jabatan tersebut atau dapat melalui upaya legislative review.
Namun, dalam pandangan Mahkamah, meskipun penentuan batas usia pensiun TNI merupakan kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, perlu menegaskan kembali bahwa peran yang dilakukan kedua alat negara tersebut memang berbeda meski keduanya memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis serta merupakan kekuatan utama sistem pertahanan keamanan rakyat.
Mengacu pada keterangan Presiden dan DPR yang juga dibenarkan pihak terkait, dalam hal ini Panglima TNI, perubahan UU TNI, termasuk mengenai batas usia pensiun TNI, telah tercantum dalam Daftar Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua Tahun 2020-2024.
Karena itu, demi memberikan kepastian hukum, menurut Mahkamah, kiranya pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU TNI dengan memprioritaskan pembahasannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, Pasal 53 dan frasa ‘usia pensiun paling tinggi 58 tahun bagi perwira dan 53 tahun bagi bintara dan tamtama’ dalam pasal tersebut dan Pasal 71 huruf a UU TNI tidak bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu, permohonan pemohon tidak beralasan hukum untuk seluruhnya.
Pendapat Berbeda
Terhadap putusan MK tersebut, 4 hakim konstitusi, yakni Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih, menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Menurut mereka, berkenaan dengan batas usia pensiun bintara dan tamtama disamakan dengan anggota kepolisian, merupakan hal yang seharusnya dikabulkan Mahkamah karena beralasan berdasarkan hukum.
“Oleh karenanya, frasa ‘usia pensiun paling tinggi 53 tahun bagi bintara dan tamtama’ dalam Pasal 53 dan Pasal 71 huruf a UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang dimaknai ‘usia pensiun prajurit TNI bagi bintara dan tamtama’ disamakan dengan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,” kata Enny Nurbaningsih.
Selanjutnya, berkenaan dengan dalil pemohon yang menyatakan frasa dalam norma Pasal 53 yang menyebutkan ‘prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira’ serta frasa dalam norma Pasal 71 huruf a UU TNI yang menyatakan ‘usia pensiun paling tinggi 58 tahun bagi perwira’ hanya berlaku bagi prajurit TNI yang pada tanggal undang-undang ini diundangkan belum dinyatakan pensiun dari dinas TNI.
Empat hakim konstitusi tersebut juga memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) berkaitan dengan kedudukan hukum pemohon I.
“Berdasarkan fakta hukum dalam persidangan, pemohon I dalam persidangan tidak dapat membuktikan bahwa yang bersangkutan adalah subjek hukum yang memiliki keahlian khusus untuk dapat dijadikan alasan dapat dipersamakan dengan usia pensiun untuk perwira kepolisian. Maka, terhadap pemohon I, tidak beralasan untuk diberikan kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian konstitusionalitas frasa dalam norma Pasal 53 yang menyatakan ‘prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun bagi perwira’ serta frasa dalam norma Pasal 71 huruf a UU No 34/2004,” tandas Enny. (RLS/J1)