PEMBANGUNAN pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) telah menjadi prioritas utama bagi pemerintah dalam mewujudkan ketahanan energi di masa mendatang. Kendati begitu, pengembangan energi bersih yang diperuntukkan untuk mempercepat pemerataan akses energi di masa transisi energi harus tetap mempertimbangkan pasokan (supply) dan permintaan (demand).
“Pengembangan pembangkit EBT harus memperhitungkan keseimbangan antara supply dan demand, kesiapan sistem, keekonomian, serta diikuti dengan kemampuan domestik untuk memproduksi industri EBT,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif pada webinar bertajuk Indonesia Energy Transition Outlook 2020 di Jakarta, Selasa (21/12).
Arifin menyebutkan keandalan dalam mengembangkan industri EBT di dalam negeri akan menjadikan Indonesia sebagai pemain utama sehingga tidak menjadi importir teknologi EBT.
“Pengembangan ini akan diproyeksikan dapat mengurangi emisi secara signifikan, khususnya pada 2040 saat selesainya kontrak energi fosil,” jelasnya.
Salah satu langkah yang diambil pemerintah dalam mengembangkan EBT ialah penerapan pajak karbon dengan tarif sebesar Rp30 per kg karbon CO2e. Tarif ini akan mulai diberlakukan pada 1 April 2022 untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan skema cap and tax.
“Peraturan ini diharapkan menciptakan iklim usaha dan investasi (di sektor EBT) yang lebih baik,” tegas Arifin.
Kementerian ESDM terus mendorong terwujudnya kolaborasi inovatif yang dapat mengakselerasi transisi energi.
“Kami berharap agar kerja sama seluruh pemangku kepentingan dapat terus diperkuat untuk membangun solusi kebijakan yang dapat mendukung transisi energi menuju net zero emission,” jelas Arifin.
Arifin mengungkapkan proyeksi investasi kebutuhan transisi energi di sektor kelistrikan saja membutuhkan dana sebesar USD1 triliun pada 2060 atau USD25 miliar per tahun.
“Diharapkan dengan dukungan teknologi yang kompetitif, bisa menekan jumlah investasi tersebut,” tutupnya.
Dalam berbagai kesempatan, Arifin menegaskan potensi dan teknologi EBT merupakan modal utama untuk melaksanakan strategi transisi energi dengan mengutamakan pemanfaatan energi surya, hidrogen, teknologi storage, kompor dan kendaraan listrik, pengembangan interkoneksi smart grid, jaringan gas bumi, serta diimbangi dengan penghentian operasi PLTU secara bertahap. (RLS/J1)