Menguak Sumber Titik Panas Karhutla di Lampung

WARGA di sejumlah kabupaten di Provinsi Lampung kerap mengeluhkan polusi berupa abu dari pembakaran lahan tebu. Saat masa panen tebu tiba, rumah, sekolah, rumah ibadah, perkantoran dan pekarangan warga menjadi kotor akibat jelaga.

Berdasarkan penelusuran jurnal-investigasi.com, warga di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang adalah yang paling sering mengungkapkan keluh kesah mereka karena polusi pembakaran lahan tebu.

Menurut data, di Kabupaten Lampung Tengah terbentang lahan perkebunan tebu luas milik PT Gula Putih Mataram. Demikian pula di Kabupaten Tulang Bawang, ribuan hektare lahan tebu milik PT Sweet Indolampung dan PT Indolampung Perkasa terdapat di sana.

Ketiga perusahaan pemilik perkebunan tebu tersebut adalah anak usaha Sugar Group Companies (SGC) yang merupakan produsen gula terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai raksasa produsen gula, SGC tidak hanya menghasilkan gula dalam karungan ukuran 50 kg, tetapi juga memproduksi gula dalam kemasan premium yang dikenal luas dengan merek Gulaku. Di Tanah Air, Gulaku merupakan merek yang tersohor.

Sumber jurnal-investigasi.com mengungkapkan, selain gula, perusahaan yang cukup berpengaruh di Lampung itu juga memproduksi ethanol. “SGC memproduksi ethanol melalui anak perusahaannya, PT Indolampung Distillery,” kata sumber jurnal-investigasi.com.

Tidak seperti pabrik-pabrik gula di Pulau Jawa yang mendapatkan bahan baku dari perkebunan tebu rakyat, SGC memperoleh tebu dengan cara menanam sendiri di area lahan berstatus Hak Guna Usaha (HGU) yang mereka miliki.

Tiap tahun, masa panen tebu atau dikenal dengan istilah on season, biasanya berlangsung pada April hingga November. Di periode itu lah aktivitas operasional perusahaan, baik di pabrik maupun di area lahan tebu meningkat.

Pohon tebu ditebang, lalu diangkut ke pabrik untuk kemudian diproses menjadi gula. “Selain gula, terdapat side product berupa molases yang nantinya digunakan sebagai bahan baku untuk membuat ethanol,” ungkap sumber jurnal-investigasi.com.

Namun, sebelum penebangan pohon tebu dilakukan, proses panen terlebih dahulu diawali dengan pembakaran lahan. Tujuannya untuk memudahkan proses penebangan.

Baca Juga:  Ombudsman akan Beri Saran dan Tindakan Korektif jika Terbukti Terjadi Maladministrasi dalam Penataan Toko Modern di Temanggung

Saat pembakaran lahan berlangsung, daun tebu yang tajam akan cepat mengering dan terbakar, sehingga memudahkan para penebang menebas batang-batang tebu. Mereka juga terhindar dari risiko terluka akibat tergores daun tebu yang tajam.

“Apalagi jika mata yang kena, tentu sangat berbahaya,” tutur sumber jurnal-investigasi.com. Selain itu, pembakaran lahan juga sengaja dilakukan untuk mengurangi risiko terhadap ancaman hewan melata, seperti ular berbisa.

Sebagai informasi, berbagai jenis ular sangat menyenangi perkebunan tebu untuk tempat berkembang biak. Binatang melata ini dapat membahayakan para pekerja saat proses penebangan jika tidak diusir dengan cara membakar lahan.

Ranah pidana
Di area lahan perkebunan tebu milik SGC, selama April hingga November, pembakaran lahan dilakukan secara bertahap. Masyarakat yang melintas di Jalan Lintas Pantai Timur Sumatera pada periode itu, dapat melihat kobaran api yang menjulang seraya melahap area lahan tebu.

Jika pembakaran lahan dilakukan pada pagi, siang atau sore, bukan cuma api yang terlihat, tetapi juga asap pekat dan tebal yang membubung tinggi menebar polusi. Dampak negatif lainnya akibat pembakaran lahan ialah abu sisa pembakaran yang beterbangan ke seluruh penjuru terbawa angin.

Masyarakat yang bermukim di perkampungan sekitar perkebunan tersebut praktis terkena dampak abu sisa bakaran daun tebu. Rumah mereka kotor, bagian diteras dipenuhi abu, dan tak jarang jelaga sisa pembakaran daun masuk ke dalam rumah.

“Mereka tidak dapat menghindari polusi akibat lahan tebu yang dibakar. Ironisnya, hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun tanpa ada tindakan hukum yang tegas terhadap perusahaan pelaku pembakaran lahan,” cetus sumber jurnal-investigasi.com.

Merujuk pada regulasi, tindakan pembakaran lahan perkebunan termasuk perbuatan pidana karena melanggar Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan lahir dari hasil uji materi terhadap UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan).

Pada Pasal 1 secara tegas disebutkan, setiap pelaku usaha oerkebunan dilarang membuka dan atau mengolah lahan dengan cara membakar.

Baca Juga:  Jaksa Agung Pastikan Lelang Rokok Ilegal Sesuai Putusan Pengadilan

Dilansir dari situs mongabay.co.id, Hadi Jatmiko dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan menjelaskan, berdasarkan Pasal 48 dan 49 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, melarang perusahaan perkebunan dalam membuka dan mengelola lahan perkebunan dengan cara membakar.

Bagi para pelaku, UU tersebut mengenakan ancaman maksimal 10 tahun penjara, dan denda maksimal Rp10 milyar. Jika pun terbakar karena kelalaian, pelaku tetap dikenai sanksi pidana penjara selama 3 tahun dan denda Rp3 milyar. BERSAMBUNG (Irw)

Related posts