KECAMATAN Nanga Badau di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat adalah salah satu wilayah terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Di kecamatan itu, berdiri megah Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Badau yang diresmikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 16 Maret 2017 silam.
Presiden, ketika meresmikan PLBN Badau mengatakan, setelah PLBN dibangun dan diresmikan, tidak berarti tugas sudah selesai. Tugas pemerintah selanjutnya, kata Jokowi, ialah membangkitkan kegiatan ekonomi di daerah perbatasan.
“Seluruh kegiatan ekspor impor harus diintegrasikan dengan pos lintas ini,” kata Presiden di sela peresmian PLBN Badau. Tidak hanya itu, Jokowi juga mengingatkan agar tidak ada lagi tempat bagi kegiatan penyelundupan.
“Yang namanya barang selundupan, harus disetop, semuanya harus resmi, sehingga jelas berapa pemasukan untuk negara dan rakyat bisa menikmati hasil dari perdagangan tersebut,” tegas Presiden.
Setelah 2,5 tahun berlalu, bagaimana impian Presiden seperti disampaikan ketika meresmikan PLBN Badau? Untuk mengetahui hal itu, jurnal-investigasi.com berkesempatan bertandang ke Nanga Badau.
Selama sepekan jurnal-investigasi.com berada di sana guna melihat dari dekat perputaran roda ekonomi di daerah perbatasan itu dan menelusuri kegiatan ekspor impor lewat PLBN Badau.
Perjalanan ke Nanga Badau ditempuh melalui udara, yakni dari Jakarta ke Pontianak dan dilanjutkan penerbangan Pontianak ke Putussibau.
Setibanya di Kota Putussibau, perjalanan diteruskan melalui jalur darat selama sekitar 6,5 jam. Pada 6 September 2019, jurnal-investigasi.com tiba di Nanga Badau.
Mendominasi
Hal pertama yang menarik perhatian saat tiba di Nanga Badau ialah ketika melihat mobil-mobil Malaysia berpelat Q hilir mudik di jalan raya. Pemandangan seperti itu tentu tidak pernah terlihat di Jakarta.
Mobil-mobil jenis sedan dan penumpang buatan pabrikan Proton, pikup, serta truk berpelat Q berseliweran di jalan-jalan di Nanga Badau. Menurut Zainal, warga Nanga Badau, sejumlah warga Malaysia membuka bisnis di Nanga Badau, seperti menjual bahan-bahan kebutuhan pokok dan mengelola perkebunan kelapa sawit.
“Di sini, warga Malaysia leluasa berdagang dan berbisnis. Mereka juga bebas membawa mobil dari Malaysia masuk ke Indonesia. Mobil-mobil berpelat Q itu kan mobil Malaysia,” kata Zainal.
Hal berbeda dialami warga negara Indonesia ketika masuk ke Malaysia. Mobil-mobil berpelat Indonesia kerap menjadi sasaran pemeriksaan oleh petugas kepolisian Diraja Malaysia, terutama pikup dan truk yang membawa barang-barang belajaan dari ‘Negeri Jiran’ itu.
Selain mobil-mobil berpelat Q, hal lain yang menarik perhatian di sana ialah banyaknya barang-barangg asal Malaysia yang membanjiri pasar, toko, dan warung di Nanga Badau. Barang-barang kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dan minyak goreng ditumpuk menanti pembeli.
Menurut Kepala Seksi Pelayanan Kepabeanan dan Cukai dan Dukungan Teknis Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean C Nanga Badau, Agung, barang-barang asal Malaysia yang masuk ke Nanga Badau lewat PLBN Badau terutama sembilan bahan pokok (sembako).
“Untuk jenis barang yang paling banyak masuk lewat pos pemeriksaan Bea dan Cukai ialah beras, gula, tepung, dan daging,” kata Agung di PLBN Badau pada Rabu (11/9).
Di akhir pekan, aktivitas di pasar Badau lebih ramai ketimbang hari biasa. Pasalnya, para buruh di perkebunan-perkebunan kelapa sawit yang tersebar luas di sekitar Nanga Badau tumpah ruah untuk membeli bahan-bahan pokok dan kebutuhan sehari-hari.
Saat itulah aktivitas perdagangan di pasar Badau berada di titik puncak. “Buruh-buruh di perkebunan sawit gajian setiap akhir pekan. Setelah mendapat gaji, mereka datang ke Badau untuk berbelanja,” kata pemilik warung di Nanga Badau yang disapa Bude Lastri.
Namun, meskipun transaksi jual beli barang-barang kebutuhan pokok di Badau tinggi, perekonomian warga Nanga Badau yang berprofesi sebagai pedagang pasar, pemilik serta karyawan toko sembako, tidak praktis melonjak.
Pasalnya, margin keuntungan yang mereka peroleh tipis. Mengapa? Menurut sejumlah pedagang yang ditemui jurnal-investigasi.com, keuntungan dari disparitas harga beli dengan harga jual eceran yang mereka dapatkan, sebagian besar justru jatuh ke tangan petugas.
Saat berbelanja ke ‘Negeri Jiran’ hingga masuk membawa barang-barang belanjaan ke Nanga Badau, mereka harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar pungutan-pungutan ke petugas di Malaysia dan Indonesia. Berikut pungutan-pungutan yang harus mereka setor seperti diungkapkan warga Nanga Badau yang berbelanja ke Malaysia. BERSAMBUNG (Krs)