Mantan Kepala BNN: Penegak Hukum Jangan Salah Kaprah soal Rehabilitasi

Ilustrasi tersangka kasus narkoba (Akmal)

MANTAN Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Pol (Purn) Anang Iskandar meminta para penegak hukum agar tidak salah kaprah dalam menyelesaikan kasus penyalahgunaan narkoba. Pengguna dan pecandu narkoba harusnya cukup menjalani proses rehabilitasi.

“Aturannya sama. Orang yang menggunakan narkotika dan orang yang membeli hanya sedikit untuk digunakan sendiri itu aturannya sama, harus diperlakukan sebagai orang sakit,” kata Anang saat dihubungi Jurnal-Investigasi, Minggu (11/7).

Menurutnya, penyalahguna atau pecandu narkoba ialah orang sakit ketergantungan narkotika dan gangguan mental yang harus diobati, direhabilitasi, bukan dipenjara.

“Penjual narkotika yang murni untuk mendapatkan keuntungan ini yang harus dihukum berat. Berniat jahat untuk mengedarkan obat berbahaya itu artinya bisa dihukum penjara, diancam pidana mati, dan hartanya dirampas dengan tindak pidana pencucian uang,” pungkas Anang.

Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat memutuskan agar Pecandu Narkotika menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.

Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:

a) memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika; atau

b) menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.

Anang menilai, meski hal ini kerap disuarakan, masih banyak hakim yang memilih untuk menjatuhkan pidana penjara kepada para pecandu narkoba.

“Ketidaksamaan persepsi ini menyebabkan fungsi Pasal 103 tersebut tidak berjalan dengan maksimal.”

“Kalau sampai ada orang yang berkali-kali masuk penjara, bahkan ada yang sampai empat kali dipenjara karena narkoba, artinya ada yang salah (dengan sistem penerapan UU Narkotika),” tegas Anang.

Pada 2010, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 (SEMA No 4 Tahun 2010) yang menjadi panduan bagi hakim untuk mengidentifikasi apakah seseorang merupakan pengguna narkotika dan memiliki kebutuhan untuk direhabilitasi.

Baca Juga:  Resmikan 3 Pelabuhan Penyeberangan dan 1 KMP di Wakatobi, Presiden: Permudah Aktivitas Masyarakat

Berdasarkan riset yang dilakukan LBH Masyarakat pada 2014 di tingkat pengadilan negeri di wilayah Jabodetabek, ada
522 putusan kasus narkotika. Hanya 28 putusan memenuhi kriteria SEMA No 4 Tahun 2010.

Dari 28, vonis rehabilitasi mencapai 71,4% atau sebanyak 20 putusan. Namun, masih ada saja hakim yang memvonis penjara dengan total putusan
sebanyak 25% serta menetapkan penjara dan denda sebesar 3,6%.

Berdasarkan riset yang dilakukan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada 2012, ditemukan hanya 10% putusan hakim agung yang memberikan rehabilitasi bagi pengguna narkotika.

Anang menegaskan, dalam penerapan rehabilitasi bagi penyalahguna narkoba, tidak memandang latar belakang. Anang menekankan jangan sampai ada anggapan pejabat dan artis lebih mudah mendapatkan rehabilitasi jika dibandingkan dengan masyarakat biasa. (DUV/J1)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *