HAK Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan hak yang berasal dari hasil kreasi kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan ke khalayak dalam bentuk teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang memiliki manfaat dalam menunjang kehidupan manusia dan mempunyai nilai ekonomi.
Untuk menghadapi semakin kompleks dan beragamnya modus dalam pelanggaran kekayaan intelektual, para hakim harus memiliki pengetahuan terbaru dan melihat perbandingan dengan sistem hukum negara lain, dalam hal ini praktik peradilan di Jepang.
Guna membahas lebih dalam hal tersebut, Mahkamah Agung (MA) menyelenggarakan seminar Hak Kekayaan Intelektual di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (22/8). Seminar ini merupakan kerja sama antara Mahkamah Agung dengan Japan International Cooperation Agency dan Kementerian Kehakiman Jepang.
Hadir sebagai pembicara, yaitu Tatsuya Sakamoto dan Shintaro Naito dari Departemen Kerja Sama Internasional Jepang. Setiap mereka berbicara tentang sistem preseden di Jepang dan ketentuan pidana untuk HAKI di Jepang.
Dalam sambutannya, Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., menyampaikan bahwa seminar ini bertujuan menghindari adanya disparitas putusan antara perkara pidana dan perkara perdata dalam suatu sengketa kekayaan intelektual.
Maka, hakim perdata maupun pidana yang menangani sengketa tersebut harus mempunyai landasan pengetahuan yang kuat di bidang kekayaan intelektual dan diupayakan adanya pemahaman yang sama dalam menyikapi permasalahan hukum yang ada.
Oleh karena itu, menurut Agung, peningkatan kapasitas hakim pidana maupun perdata dalam penanganan perkara kekayaan intelektual, mutlak diperlukan.
“Seminar ini merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan kapasitas sekaligus menyamakan persepsi Hakim,” ungkap Agung dalam keterangannya, Senin (22/8).
Harapan dan optimisme yang besar dalam pelaksanaan seminar ini ialah agar para hakim dapat mempelajari sistem preseden (judicial precedent) atau yurisprudensi di Jepang dan ketentuan pidana untuk HAKI di Jepang yang nantinya diharapkan akan menambah wawasan para hakim dalam mengadili perkara kekayaan intelektual dan dapat bekerja secara profesional serta menghasilkan putusan yang berkualitas. Karena itu, keadilan dan kesatuan hukum dapat diwujudkan.
Seminar yang dilaksanakan secara hibrida ini diikuti sekitar 72 peserta. Mereka, yaitu hakim agung, hakim yustisial Mahkamah Agung, hakim-hakim se-Jabodetabek, para hakim Kementerian Hukum Jepang, perwakilan duta besar Jepang, dan Japan International Cooperation Agency (JICA). (RLS/J1)