PASCATERBITNYA Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dan implementasinya melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) semakin gencar dalam memantau aktivitas pemanfaatan ruang laut Indonesia.
Melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Ditjen PRL), menjalankan amanat penyelenggaraan penataan ruang laut tersebut untuk memastikan pemanfaatan ruang laut tidak sekadar memberikan manfaat ekonomi, tapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat dan kelestarian lingkungan sekitarnya. Karenanya, seluruh pemanfaatan ruang laut yang sifatnya menetap (lebih dari 30 hari) wajib memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dalam bentuk Konfirmasi Kegiatan Pemanfatan Ruang Laut (KKPRL) atau Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
“Untuk memberikan manfaat ekonomi dan tetap menjaga kelestarian sumber dayanya, KKP selalu memastikan kegiatan pemanfaatan ruang laut telah berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tegas Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Pamuji Lestari, di Jakarta, Selasa (15/2).
Lebih lanjut, Tari menjelaskan salah satu kegiatan pemanfaatan ruang laut yang saat ini sedang dipantau dan dievaluasi ialah kegiatan pertambangan pasir laut di Pulau Rupat bagian utara. Pemantauan bersama dengan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan langsung di lokasi, Senin (14/2), dilakukan, mengingat sebagian perairan Provinsi Riau seluas 90 ribu hektare tengah diusulkan untuk ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan dengan luasan mencapai 14.133,50 hektare yang di antaranya berada di perairan Pulau Rupat bagian utara.
“Di kawasan ini, terdapat banyak ekosistem lamun, mangrove, terumbu karang, serta biota laut, seperti dugong, penyu, dan pesut. Oleh karenanya, dengan adanya kawasan konservasi ini, KKP ingin tetap menjaga kelestarian ekosistem dan kelangsungan hidup biota laut yang ada di Pulau Rupat dan sekitarnya,” urai Tari.
Sebagai informasi, Pulau Rupat merupakan Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT) karena merupakan pulau kecil terluar serta menjadi Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar, telah diatur bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar hanya dapat dilakukan untuk pertahanan dan keamanan, kesejahteraan masyarakat, serta pelestarian lingkungan.
“Jadi, Pulau Rupat dengan status KSNT, KSPN, dan kawasan konservasi sudah sejalan dengan PP 62/2010. Untuk mengatur ruangnya, KKP juga sudah menyiapkan draf Rencana Zonasi KSNT Pulau Rupat yang sedang diintegrasikan dengan Rencana Tata Ruang Perbatasan,” ujarnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang telah memandatkan bahwa kegiatan pemanfaatan ruang di laut secara menetap 30 hari wajib memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dalam bentuk KKPRL atau PKKPRL. KKPRL dan PKKPRL akan dievaluasi berdasarkan rencana tata ruang atau zonasi, kondisi lingkungan dan sosial sekitar lokasi ruang yang dimohonkan. Tidak semua pengajuan atau permohonan KKPRL maupun PKKPRL dapat disetujui.
Evaluasi yang dilakukan Ditjen PRL terhadap aktivitas penambangan pasir PT Logo Mas Utama di Pulau Rupat bagian utara menunjukkan bahwa selain belum memiliki PKKPRL, aktivitas yang dilaksanakan di lokasi tersebut juga mendapatkan protes dari beberapa kelompok masyarakat karena diduga telah terjadi kerusakan di wilayah pesisir Pulau Rupat berupa kerusakan terumbu karang, padang lamun, dan abrasi, serta mengganggu aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan.
“KKP akan menindak tegas setiap pelanggaran yang terjadi sesuai ketentuan yang berlaku dan saya berharap ini tidak terjadi di kemudian hari. Pulau Rupat harus tetap dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan dijaga dengan baik ekosistemnya untuk kelestarian dan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya. (RLS/J1)