Jangan Pakai Pers Sebagai Alat Kampanye Hitam

PASCA pendaftaran dua pasangan calon presiden (capres)/calon wakil presiden (cawapres), Prabowo Subianto/Sandiaga Uno dan Joko Widodo/Ma’ruf Amin, ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), kekhawatiran akan munculnya kampanye hitam di media-media massa mulai mencuat. Masyarakat yang pernah merasakan dampak kampanye hitam yang didalangi tabloid Obor Rakyat pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 silam, mendesak agar kelompok-kelompok yang menggunakan media massa sebagai wadah propaganda mereka segera menghentikan aksi tersebut. Publik berharap kampanye hitam seperti yang dilakukan tabloid Obor Rakyat tidak terulang kembali.

“Media massa seharusnya mengambil sikap independen dan tidak memihak. Jangan sampai kebebasan pers di Indonesia ternodai seperti yang pernah dilakukan Obor Rakyat waktu menjelang kampanye pemilihan umum presiden di 2014 lalu,” kata Alfon, karyawan sebuah perusahaan tambang batu bara saat berbincang dengan Jurnal Investigasi, Minggu (2/9), di Jakarta.

Senada, M Rachman yang berprofesi sebagai mitra perusahaan angkutan publik di Jakarta mengungkapkan kekhawatirannya terhadap munculnya kampanye hitam yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat. Dia mengatakan, menjelang pemilu presiden pada 2014 lalu,muncul kelompok tertentu yang memanfaatkan lembaga pers untuk menyebarluaskan fitnah secara terang-terangan. Kini mendekati pemilu presiden 2019, lanjut Rachman, ada tanda-tanda pers kembali dipakai oleh kelompok-kelompok tertentu sebagai alat untuk menyerang pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tertentu.

“Seharusnya Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu Umum) segera bertindak agar kampanye-kampanye hitam tidak meluas dan meresahkan masyarakat. Kalau sudah ada indikasi pidana, segera dilaporkan ke kepolisian,” kata Rachman. Dia berharap pesta demokrasi yang akan berlangsung pada 2019 mendatang dapat berjalan lancar dan damai.

Seperti diketahui, dalam beberapa hari terakhir, koran Independent Observer mendadak menjadi perbincangan publik di Twitter. Pasalnya, koran berbahasa Inggris itu pada berita utama di halaman depan memampang dua foto pasangan capres/cawapres, yaitu Prabowo Subianto-Sanidaga Uno dan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Hal yang menjadi sorotan ialah bagian judul yang ditulis “New Hope vs Unfulfilled Promises”.

Baca Juga:  HUT ke-77 MA, Bangkit Bersama Tegakkan Keadilan 

Sebagian masyarakat menilai judul tersebut sangat tendensius dan mendiskreditkan pasangan capres/cawapres tertentu. Namun, masyarakat lainnya berpendapat judul “New Hope vs Unfulfilled Promises” sah-sah saja karena merupakan bagian dari penyampaian ekspresi yang dilindungi undang-undang.

Siapakah dari dua kelompok masyarakat itu yang benar dan bagaimana seharusnyalembaga pers berperan dalam setiap pemberitaan? Jurnal Investigasi mengulas hal itu dengan mengacu kepada regulasi yang menjadi pedoman lembaga-lembaga pers.

Dengan melihat sejarah perkembangan pers di Tanah Air, pascareformasi yakni setelah rezim Orde Baru tumbang pada 1998 silam, pers adalah salah satu lembaga yang mendapatkan hadiah besar dari hasil proses reformasi. Hadiah itu bernama kebebasan pers.

Jika selama rezim Orde Baru lembaga pers dikendalikan dan harus manut kepada keinginan penguasa, pascareformasi lembaga-lembaga pers bagaikan burung terlepas dari sangkar yang mendapatkan kebebasan. Namun, sejatinya, pers adalah lembaga independen yang tidak memihak. Prinsip tersebut telah lama melekat di lembaga-lembaga pers modern di negara-negara maju yang menganut paham demokrasi.

Di Indonesia,setelah rezim Orde Baru dilengserkan, lembaga-lembaga pers diberikan kebebasan untuk bersuara, tetapi harus tetap memperhatikan aturan main. Artinya, dalam mempublikasikan sebuah pemberitaan, lembaga-lembaga pers di Tanah Air harus tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia.

Secara rigid, regulasi itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers. Hadiah untuk kalangan pers berupa kebebasan diatur dalam Pasal 2 yang menyebutkan “kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 4 ayat (1) memperkuat hal itu, yang berbunyi “kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara”.

Tidak hanya itu, negara juga menjamin lembaga-lembaga pers tidak akan dibredel seperti yang pernah terjadi di era Orde Baru. Kepastian tentang pers yang tidak akan dibredel diatur dalam Pasal 4 ayat (2) yang berbunyi “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Hal-hal itulah yang merupakan hadiah bagi pers nasional di era reformasi.Meski mendapatkan kebebasan, pers nasional harus tetap berada di koridor yang benar. Para wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif telah menyiapkan koridor agar lembaga-lembaga pers tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu yang melawan hukum.

Baca Juga:  Operasi Pasar, Bea Cukai Pekanbaru Sita 3.476 Batang Rokok Ilegal

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah hasil legislasi yang dirumuskan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tersebut memuat aspek-aspek kebebasan pers sekaligus aturan-aturan main yang harus dipatuhi lembaga-lembaga pers nasional. Hal itu untuk menciptakan sebuah kebebasan pers yang bertanggung jawab. Publik tentunya sepakat karya-karya pers yang dipubliskan di media-media massa haruslah merupakan penjabaran tentang fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ranah Pidana

Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers secara tegas mengatur kewajiban lembaga-lembaga pers untuk menghormati norma-norma dan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 5 ayat (1) berbunyi “pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”.

Koridor lainnya tercantum dalam Pasal 6 huruf b dan huruf c yang berbunyi “pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut: menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan” dan “mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar”. Dengan adanya koridor hukum seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tentang Pers, lembaga-lembaga pers yang mempublikasikan karya-karya jurnalistik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya akan berhadapan dengan hukum.

Sebagai contoh, tentu masih segar dalam ingatan kita tentang sepak terjang tabloid Obor Rakyat yang secara masif diedarkan ke masyarakat saat menjelang pemilu presiden tahun 2014. Tabloid Obor Rakyat muncul ketika dua pasangan capres/cawapres, yaitu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla berkampanye untuk memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden.

Saat itu, tabloid Obor Rakyat dipergunakan oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendiskreditkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Modus yang dipakai adalah dengan menyasar Joko Widodo melalui artikel-artikel yang antara lain menuding Joko Widodo keturunan Tionghoa dan kaki tangan asing.Anehnya, artikel-artikel tabloid Obor Rakyat tersebut tidak memuat konfirmasi dari Joko Widodo sebagai pihak utama yang disorot.

Baca Juga:  Cegah Kerugian, SWI Minta Masyarakat Waspadai Penawaran Binary Option dan Broker Ilegal

Artikel-artikel Obor Rakyat tersebut kemudian dilaporkan ke kepolisian karena dianggap melakukan kampanye hitam dan memfitnah Joko Widodo. Di persidangan, Jaksa Erwin Indraputra menyatakan dua pentolan Obor Rakyat yang duduk di kursi terdakwa melakukan pencemaran nama baik dan menuntut keduanya dengan hukuman satu tahun penjara.

Alhasil,pada 22 November 2016 majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Sinung Hermawan menjatuhkan vonis delapan bulan penjara kepadaSetyardi Budiono dan Darmawan Sepriyosa yang masing-masing selaku pemimpin redaksi dan redaktur pelaksana tabloid Obor Rakyat.Bukannya mentaatiputusan pengadilan, Setyardi dan Darmawan malah kabur dari jeratan hukum.

Namun, pada tanggal 8 Mei 2018 tim Kejaksaan berhasil menciduk dua pentolan tabloid Obor Rakyat tersebut. Setyardi ditangkap di Stasiun Gambir pada pukul 17.00 WIB dan Darmawan diciduk di Tebet, Jakarta Selatan sekitar pukul 16.00 WIB. Keduanya kemudiandijebloskan ke dalam penjara.

Kini, menjelang pemilu presiden 2019, sebagian masyarakat mengkhawatirkan munculnya modus operandi yang memanfaatkan pers sebagai alat kampanye hitam dan propaganda untuk menyerang pasangan capres/cawapres tertentu. Untuk menjaga ketentraman masyarakat, sudah sepatutnya lembaga yang mengemban tugas sebagai wasit di pemilu presiden 2019 segera bertindak merespon hal itu.(ald)

Related posts