Indonesia Bebas Emisi Karbon di 2060, Ini Skema Pendanaan Pengembangan EBT

Indonesia Bebas Emisi Karbon di 2060, Ini Skema Pendanaan Pengembangan EBT
(Sumber: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral)

PEMERINTAH akan mengoptimalkan posisi Indonesia sebagai Presidensi G20 di 2022 untuk menggaet pendanaan yang inovatif dan menguntungkan dalam percepatan transisi energi.

Hal itu disampaikan secara langsung oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana pada webinar Transisi Energi: Menuju Pembangunan Berkelanjutan di Jakarta, Kamis (17/2).

Dadan menjelaskan pemerintah memiliki skema pendanaan yang variatif dalam mencari dukungan investasi antarnegera maupun lembaga internasional.

Indonesia terbuka bagi kerja sama internasional, termasuk dalam urusan investasi asing, skema pendanaan yang inovatif, serta transfer teknologi berdasarkan semangat kemitraan yang setara dan saling menguntungkan.

“Ini banyak sekali (skema pendanaan). Kami mendorong blended finance dan sedang menyusun peraturan presiden terkait dengan hal ini. Bagaimana kita nanti akan memanfaatkan pendanaan tidak hanya di dalam negeri, tidak hanya yang berbasis komersial perbankan, tapi juga dari filantropis, multinasional yang bermaksud untuk mendukung pengembangan EBT di Indonesia,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis (17/2).

Model pendanaan blended finance, papar Dadan, merupakan dana perwalian perubahan iklim Indonesia yang akan memfasilitasi perolehan dari para donor, yaitu Asian Development Bank, European Investment Bank (hibah/pinjaman), dan World Bank.

Selanjutnya, SDG Indonesia Satu merupakan platform terintegrasi untuk mendukung proyek terkait dengan Sustainable Development Goal yang terdiri atas 4 pilar, yaitu fasilitas pengembangan, de-risking, pembiayaan, dan ekuitas. Kemudian, investasi anggaran nonpemerintah yang mendorong sektor swasta dalam pengembangan proyek infrastruktur strategis nasional. Skema ini memfasilitasi investor dalam pembiyaan ekuitas (pembiayaan ekuitas langsung dan instrumen investasi ekuitas).

Ada pula Tropical Landscape Finance Facility (TLFF) yang bertujuan memanfaatkan pendanaan publik untuk penggunaan lahan yang berkelanjutan, termasuk di bidang restorasi ekosistem dan investasi EBT.

Selain itu, ada skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha atau Public Private Partnership (KPBU/PPP), kontrak jangka panjang antara pihak swasta dan entitas pemerintah untuk menyediakan aset layanan publik berupa Project Development Facility, Viability Gap Found, penjaminan infrastruktur, dan pembayaraan ketersediaan.

Baca Juga:  Percepat Digitalisasi UMKM Sektor Perdagangan, Kemendag dan Grab Jalin Kerja Sama

Terakhir, dari perbankan komersial, yang mana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan persentase tertentu dari portofolio kredit untuk pembiayaan proyek hijau.

Dadan mengutarakan kebutuhan investasi supaya mencapai karbon netral di 2060 memerlukan biaya besar.

“Kalau kita ingin bebas dari emisi karbon di 2060, secara total, kita membutuhkan sekitar USD1 triliun atau USD29 miliar per tahun,” urainya.

Angka tersebut terdiri atas kebutuhan investasi di pembangkit EBT sebesar USD1.042 miliar dan transmisi yang mencapai USD135 miliar.

“Transmisi ini biasanya satu paket (pembangunan pembangkit) supaya bisa beroperasi,” kata Dadan.

Dadan mengakui biaya pengembangan PLT EBT semakin murah dan efisien. Berdasarkan IRENA Renewable Power Generation Cost in 2020, biaya pembangunan PLT EBT mengalami penurunan cukup signifikan secara global selama 10 tahun terakhir. Bahkan, biaya operasi PLT EBT baru, terutama PLT Surya dan PLT Bayu (termasuk biaya integrasi), dapat bersaing dengan PLTU eksisting skala 800 Mega Watt.

“Harga-harga pembangkit yang intermiten (surya dan angin) semakin menurun. Dalam waktu 10 tahun, turunnya hampir 80% dari USD5.000 per kWh menjadi USD1.000 per kWh. Bahkan, lelang yang dilakukan oleh PLN sudah bisa menembus di bawah PLTU batu bara,” tutup Dadan. (RLS/J1)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *