JUMLAH kasus korupsi yang disidik aparat penegak hukum mencapai 119 dengan 340 tersangka. Tercatat, sedikitnya 9 kasus pada 2016, 33 saat 2017, 21 di 2018. Juga, 20 kasus pada 2019, 27 di 2020, dan 9 saat 2021 dikutip dari situs Indonesia Corruption Watch (ICW), Senin (21/3).
Berdasarkan data yang dihimpun, 119 kasus korupsi di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebabkan kerugian negara hingga Rp47,9 triliun. Turut ditemukan nilai suap hingga Rp106,9 miliar dan nilai tindak pidana pencucian uang sebesar Rp57,86 miliar.
Menurut pemantauan ICW, apabila dilihat dari kerugian negara yang ditimbulkan, mulai 2016 sampai 2021, negara telah merugi setidaknya sebanyak Rp47,92 triliun. Kerugian itu dihasilkan oleh sebaran sedikitnya 119 kasus korupsi yang telah disidik aparat penegak hukum di lingkungan BUMN.
Korupsi di Lingkungan BUMN Marak kala Pandemi
Selama penanganan pandemi covid-19, kasus-kasus korupsi di lingkungan BUMN tidaklah mereda. Negara justru mengalami kerugian terbesar berkat kasus korupsi yang terjadi pada 2020 dan 2021.
Ini menjadi ironis karena selama pandemi, BUMN mendapatkan suntikan dana dari pemerintah melalui program stimulus Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) hingga Rp1.761 triliun. Belum lagi BUMN sebelumnya rutin mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang dianggarkan lewat APBN.
Kasus-kasus korupsi yang marak ditemukan menunjukkan pentingnya pengawasan terhadap dana PEN secara patut. Ini disebabkan potensi penyelewengan pada situasi darurat akan selalu ditemukan, utamanya karena ada pihak yang mencari celah untuk mendapat keuntungan.
Aktor Korupsi Banyak Berasal dari Tubuh BUMN: Menyoal Peran Komisaris BUMN
ICW menemukan bahwa sedikitnya terdapat 83 aktor korupsi dengan latar belakang pimpinan menengah di BUMN. Kemudian, ada 76 pegawai/karyawan di BUMN terpantau merupakan aktor korupsi di lingkungan BUMN.
Di urutan keempat, 51 aktor korupsi memiliki jabatan direktur di BUMN. Selanjutnya, di urutan terakhir, sedikitnya 40 aktor korupsi di lingkungan BUMN dapat diklasifikasikan memiliki latar belakang pekerjaan lainnya.
Berkaca pada hal di atas, muncul pertanyaan besar mengenai peran para komisaris di BUMN yang tersandung kasus korupsi. Komisaris salah satunya bertanggung jawab untuk mengawasi jalannya tata kelola BUMN. Peran sentral tersebut semestinya dijalankan dengan maksimal.
Korupsi Rawan Terjadi di Sektor Finansial
ICW menyoroti besarnya kerawanan korupsi di sektor perbankan. Ini dapat disimpulkan setidaknya dari temuan bahwa sektor perbankan menduduki urutan pertama dengan kasus korupsi tertinggi di lingkungan BUMN yang disidik sepanjang 2016—2021 oleh aparat penegak hukum.
Sektor perbankan mendominasi dengan sedikitnya 38 kasus korupsi yang ditindak. Kemudian, dilihat dari BUMN mana yang tersandung kasus korupsi terbanyak, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) (Persero) Tbk menempati posisi teratas dengan total sedikitnya 15 kasus.
Di sektor perbankan, ICW menemukan indikasi adanya kerawanan pada pengelolaan uang nasabah serta penyaluran kredit. Mayoritas kasus korupsi di sektor perbankan menjadikan uang nasabah serta dana kredit sebagai objek yang dikorupsi.
ICW juga menemukan bahwa apabila sektor-sektor perbankan, sosial kemasyarakatan (seperti kasus-kasus yang beririsan dengan asuransi), dan pasar modal disatukan ke dalam payung kategori ‘sektor finansial,’ kerugian negara yang dihasilkan sangatlah besar.
Tercatat, terdapat sedikitnya 35 kasus dengan total kerugian menyentuh angka Rp45,06 triliun. Sebagai perbandingan, total kerugian negara yang ICW catat sepanjang 2016—2021 akibat korupsi di lingkungan BUMN sedikitnya mencapai Rp47,92 triliun.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, ICW merekomendasikan beberapa hal, yakni, pertama perlu adanya perhatian yang lebih serius pada BUMN yang masuk ke bisnis sektor finansial oleh lembaga-lembaga yang berwenang, seperti KPK, OJK, Kementerian Keuangan, dan BPK.
Kedua, perlu disusun mekanisme evaluasi terhadap alokasi pemberian PEN kepada BUMN, mengingat maraknya korupsi serta besarnya kerugian negara yang dihasilkan akibat kasus korupsi di lingkungan BUMN selama pandemi.
Lalu, mengingat pelaku korupsi di BUMN didominasi pejabat menengah dan tinggi yang bekerja sama dengan sektor swasta, proses pemilihan untuk posisi direksi harus memasukkan aspek integritas tinggi sebagai standar utama.
Keempat, pemerintah perlu memperkuat peran komisaris dalam melakukan pengawasan, terutama terhadap proyek-proyek besar BUMN yang rawan dikorupsi dengan melakukan rekrutmen komisaris BUMN yang profesional, cakap, dan berintegritas tinggi.
Apabila pemerintah menjadikan posisi komisaris BUMN sebagai ajang membayar utang budi karena jasa seseorang dalam proses politik dan pemenangan pemilu, sulit untuk menghindari korupsi yang mengakar di BUMN.
Terakhir, menuntut kejelian aparat penegak hukum agar dapat membaca potensi keberadaan tindak pidana pencucian uang pada kasus-kasus mega korupsi, utamanya di sektor finansial, sehingga dapat mengonstruksikan pasal-pasal tindak pidana pencucian uang pada kasus-kasus tersebut, termasuk mendorong penjeraan dalam penegakan hukum melalui pemidanaan terhadap korporasi, bukan hanya kepada individu. (RLS/J1)