PEMERINTAH telah meluncurkan berbagai kebijakan dan program jaminan sosial untuk pekerja dalam menghadapi bermacam-macam risiko, baik saat bekerja maupun saat sudah tidak bekerja, seperti kecelakaan, sakit, meninggal dunia, PHK, dan situasi usia yang sudah tidak produktif.
Adapun berbagai jaminan sosial tersebut, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Sementara itu, terkait dengan pekerja yang mengalami PHK, mereka berhak mendapatkan pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang JHT.
Pemerintah juga meluncurkan program baru sebagai bantalan untuk mereka yang terkena PHK, Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), berupa uang tunai, pelatihan kerja, dan akses informasi pasar kerja sehingga diharapkan pekerja bisa bertahan hidup dan memiliki peluang besar untuk mendapatkan pekerjaan baru.
Dilansir dari situs Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Minggu (13/2), setelah mempertimbangkan banyaknya program jaminan sosial untuk para buruh tersebut, khusus Jaminan Hari Tua (JHT) dikembalikan kepada fungsinya, yakni sebagai dana yang dipersiapkan agar pekerja di masa tua memiliki harta sebagai biaya hidup pada waktu sudah tidak produktif lagi. Karena itu, uang JHT sudah seharusnya diterima buruh di usia pensiun, cacat total, atau meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Kepala Biro Humas Kemnaker Chairul Fadhly Harahap menjelaskan bahwa JHT berasal dari akumulasi iuran wajib dan hasil pengembangannya.
“Program JHT merupakan program perlindungan untuk jangka panjang,” kata Chairul melalui siaran pers Biro Humas Kemnaker, Sabtu (12/2).
Chairul menjelaskan, meskipun tujuannya untuk perlindungan di hari tua (memasuki masa pensiun), meninggal dunia, atau cacat total tetap, UU SJSN memberikan peluang bahwa dalam jangka waktu tertentu, bagi peserta yang membutuhkan, dapat mengajukan klaim sebagian dari manfaat JHT-nya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015, klaim terhadap sebagian manfaat JHT tersebut dapat dilakukan apabila peserta telah mengikuti program JHT paling sedikit 10 tahun. Adapun besaran sebagian manfaatnya yang dapat diambil, yaitu 30% dari manfaat JHT untuk pemilikan rumah atau 10% dari manfaat JHT untuk keperluan lainnya dalam rangka persiapan masa pensiun.
Dalam PP tersebut, jelas Chairul, juga telah ditetapkan bahwa yang dimaksud masa pensiun tersebut ialah usia 56 tahun.
“Skema ini untuk memberikan perlindungan agar saat hari tua nanti, pekerja masih mempunyai dana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jadi, kalau diambil semuanya dalam waktu tertentu, tujuan dari perlindungan tersebut tidak akan tercapai,” ujarnya.
Atas dasar tersebut, Kemnaker menerbitkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan RI (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Sesungguhnya, terbitnya permenaker ini sudah melalui proses dialog dengan stakeholders ketenagakerjaan dan K/L terkait. Walaupun demikian, karena terjadi pro-kontra terhadap terbitnya permenaker ini, dalam waktu dekat, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah akan melakukan dialog dan sosialisasi dengan stakeholder, terutama para pimpinan SP/SB. (RLS/J1)