BANK BNI tengah dilanda persoalan kredit macet yang serius. Tidak tanggung-tanggung, nilai kredit macet yang melilit bank BUMN itu di salah satu debitur di Bojonegoro, Jawa Timur mencapai ratusan milyar rupiah.
Menurut sumber Jurnal Investigasi, hal itu terjadi diduga akibat manajemen BNI tidak mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan pinjaman. Akibatnya, ratusan milyar rupiah kredit modal kerja yang dikucurkan ke sebuah pabrik rokok di Bojonegoro menjadi macet dan tidak bisa ditagih.
Lebih parah lagi, kini pabrik rokok itu sudah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya. Hal itu berarti pengembalian ratusan milyar dana yang telah dikucurkan BNI, sepenuhnya tergantung dari hasil penjualan aset-aset debitur.
Sandungan yang menghadang BNI tidak berhenti di situ. Hal lain yang membuat BNI harus menghadapi kondisi lebih tragis adalah, bank pelat merah itu bukanlah kreditur tunggal yang mengucurkan pinjaman ke pabrik rokok tersebut.
Menurut dokumen yang diperoleh Jurnal Investigasi dari sumber, sederet nama kreditur mengantri menunggu pembayaran dari hasil penjualan aset-aset sang debitur.
“BNI banyak menggelontorkan kredit modal kerja di Bojonegoro. Salah satu yang bermasalah dengan nominal besar adalah kredit modal kerja ke sebuah pabrik rokok ternama di sana,” papar sumber.
Pabrik rokok yang pernah tercatat dalam daftar sepuluh besar produsen rokok di Tanah Air itu, saat ini sudah berhenti beroperasi. Seluruh aset perusahaan telah disita dan berada di bawah pengawasan kurator yang ditunjuk Pengadilan Niaga Surabaya.
Sementara itu, berdasarkan penelusuran yang dilakukan Jurnal Investigasi, kredit macet tersebut diduga berawal dari persetujuan pemberian kredit modal kerja yang kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan restrukturisasi fasilitas kredit modal kerja setelah pabrik rokok tersebut kewalahan membayar cicilan hutang ke BNI.
Direktur Bisnis Korporasi BNI yang saat itu dijabat Herry Sidharta, meneken restrukturisasi fasilitas kredit modal kerja tersebut pada Agustus 2015.
Untuk diketahui, Herry menduduki jabatan itu pada tahun 2015 hingga 2016. Kini, Herry mengisi posisi puncak sebagai orang nomor dua di BNI, yaitu menjabat Wakil Direktur Utama BNI.
Tak lama setelah restrukturisasi fasilitas kredit modal kerja ditandatangani, pabrik rokok tersebut kemudian digugat pailit oleh dua kreditur lain. Hasilnya, pada Desember 2016, Pengadilan Niaga Surabaya menetapkan pabrik rokok itu pailit.
Imbasnya, bagi BNI, ratusan milyar rupiah kredit modal kerja yang telah dikucurkan berubah menjadi kredit macet kategori lima atau sudah tidak dapat ditagih.
Untuk mendapatkan penjelasan dan klarifikasi dari BNI, Jurnal Investigasi pada 28 Desember 2018, mengirimkan surat permintaan wawancara. Surat diantar secara langsung ke kantor pusat Bank BNI dan diterima petugas front office.
“Kami akan menyampaikan surat-surat ini ke pihak manajemen,” kata petugas front office.
Namun, sampai 8 Januari 2019, BNI tidak memberikan tanggapan. Jurnal Investigasi kemudian mengirimkan pesan melalui WhatsApp Messenger pada 9 Januari 2019.
Pesan WhatsApp Messenger dikirimkan kepada Herry, Direktur Utama BNI Achmad Baiquni, dan Komisaris BNI Ari Kuncoro. Melalui pesan WhatsApp Messenger, Jurnal Investigasi menanyakan kembali kesediaan BNI untuk diwawancarai dengan melampirkan copy surat yang telah dikirimkan terdahulu.
Baik Herry, Ari, dan Baiquni membaca pesan WhatsApp Messenger yang dikirim Jurnal Investigasi, namun tidak membalasnya.
Siapa debitur pabrik rokok yang dimaksud dan berapa nilai fasilitas kredit modal kerja BNI yang nyangkut di debitur itu? Jurnal Investigasi akan mengulas hal tersebut dalam artikel selanjutnya. (Syu) – BERSAMBUNG —