SKANDAl kredit macet bernilai ratusan milyar rupiah yang membelenggu Bank BNI terjadi saat posisi puncak bank pelat merah itu sudah diduduki Achmad Baiquni.
Seperti tercantum dalam keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS) BNI yang digelar pada 17 Maret 2015, para pemegang saham bank BUMN tersebut sepakat menunjuk Baiquni menduduki kursi direktur utama BNI.
Sebelum diangkat menjadi orang nomor satu di BNI, pada 2010 hingga Maret 2015, Baiquni masih berkarir di Bank BRI sebagai direktur keuangan.
Pada artikel ‘BNI Tersandung Skandal Kredit Macet Ratusan Milyar Rupiah (Bagian Pertama)’, jurnal-investigasi.com telah mengulas asal mula kredit macet di bank pelat merah itu.
Persoalan kredit bermasalah tersebut muncul diduga berawal dari adanya persetujuan direksi BNI untuk menggelontorkan ratusan milyar rupiah pinjaman berbentuk kredit modal kerja ke sebuah pabrik rokok di Bojonegoro, Jawa Timur.
Namun, karena sang debitur kewalahan membayar cicilan hutang ke BNI, kemudian dilakukan penandatanganan restrukturisasi fasilitas kredit modal kerja pada Agustus 2015.
Dalam paket restrukturisasi fasilitas modal kerja tersebut, direktur bisnis korporasi BNI yang saat itu dijabat Herry Sidharta, membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda dimulainya restrukturisasi kredit.
Kini, Herry sudah melepas jabatan direktur bisnis korporasi dan beranjak menjadi orang nomor dua di BNI sebagai wakil direktur utama.
Siapakah debitur yang mampu menggaet kepercayaan BNI sehingga bisa mendapatkan kredit modal kerja ratusan milyar rupiah?
Dan, apakah benar BNI tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memberikan fasilitas kredit modal kerja sehingga macet?
Setelah artikel bagian pertama dipublikasikan, jurnal-investigasi.com kebanjiran pertanyaan-pertanyaan tersebut dari para pembaca.
Sebagian bahkan menambahkan rasa ketidakpercayaan mereka dengan alasan saat ini sudah ada lembaga krdibel bernama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang salah satu tugas utamanya ialah mengawasi perbankan secara ketat.
Untuk menjawab tanda tanya itu, pada artikel bagian kedua ini, jurnal-investigasi.com akan mengungkap sejumlah fakta berdasarkan dokumen-dokumen otentik yang diperoleh jurnal-investigasi.com.
Nasabah lawas
Ibarat pepatah sepandai-pandai menyimpan bangkai, suatu saat baunya akan tercium juga, persoalan kredit macet BNI yang ditutupi secara rapat kini terkuak.
Bank pelat merah itu, menurut dokumen yang diperoleh jurnal-investigasi.com, menyetujui permohonan kredit modal kerja sebesar Rp 270 milyar yang diajukan pemilik pabrik rokok CV 369 Tobacco.
Perusahaan yang berbadan hukum Commanditaire Vennootschap atau biasa dikenal dengan CV itu, merintis dari nol usaha produksi rokok dan kemudian mendirikan kantor serta pabrik dan mesin-mesin pelinting rokok di Bojonegoro, Jawa Timur.
Menurut penelusuran, pabrik rokok CV 369 Tobacco maupun pemiliknya berinisial G, adalah nasabah lawas di BNI, yakni selama sekitar 25 tahun.
Secara nasional, selama berkiprah di bisnis rokok, CV 369 Tobacco pernah bertengger di daftar delapan besar produsen rokok di Tanah Air.
Namun, pada 13 Desember 2016, kiprah CV 369 Tobacco berakhir. Pengadilan Niaga Surabaya menetapkan perusahaan itu pailit setelah dua kreditur yang mengajukan permohonan pailit memenangi perkara.
Di sinilah petaka bernama kredit macet mulai membelenggu BNI. Nilai akumulasi kredit berikut bunga outstanding yang sudah tidak bisa ditagih BNI dari pabrik rokok itu mencapai Rp 280 milyar.
Celakanya, BNI tidak masuk dalam daftar pemohon pailit, sehingga bank BUMN itu bukanlah kreditur yang mendapat prioritas dalam pembayaran hutang-hutang debitur pascapenjualan aset-aset milik CV 369 Tobacco yang telah dikuasai pihak kurator.
Padahal, seperti tertera di daftar kreditur, BNI merupakan kreditur terbesar di CV 369 Tobacco.
Sebelumnya, untuk mendapatkan penjelasan dan klarifikasi dari BNI, jurnal-investigasi.com pada 28 Desember 2018, sudah melayangkan surat permintaan wawancara.
Surat diantar secara langsung ke kantor pusat Bank BNI dan diterima petugas front office. “Kami akan menyampaikan surat-surat ini ke pihak manajemen,” kata petugas front office.
Namun, sampai 8 Januari 2019, BNI tidak memberikan tanggapan. Jurnal Inveskemudian mengirimkan pesan melalui WhatsApp Messenger pada 9 Januari 2019.
Pesan WhatsApp Messenger dikirimkan kepada Herry, Baiquni, dan Komisaris Utama BNI Ari Kuncoro. Melalui pesan WhatsApp Messenger, jurnal-investigasi.com menanyakan kembali kesediaan BNI untuk diwawancarai dengan melampirkan copy surat yang telah dikirimkan terdahulu.
Baik Herry, Baiquni, dan Ari Kuncoro membaca pesan WhatsApp Messenger tersebut, namun tidak membalasnya.
Kembali ke pertanyaan para pembaca tentang implementasi prinsip kehati-hatian oleh BNI dan keberadaan OJK dalam kredit persoalan macet tersebut.
Apakah kredit macet tersebut luput dari pengawasan OJK, dan apakah kredit macet itu terekam di Biro Informasi Kredit pada Bank Indonesia (BI)?
Jurnal-investigasi.com akan mengulas hal ini pada artikel selanjutnya setelah OJK dan BI memberikan klarifikasi. (Syu) – BERSAMBUNG –