KOMISI Pemilihan Umum (KPU) kembali mengajukan Memori Banding Tambahan pascaputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst. Selain itu, KPU juga telah menunjuk kuasa hukum atau pengacara untuk mengawal perkara ini.
Hal ini disampaikan anggota KPU Mochammad Afifuddin pada konferensi pers yang juga dihadiri anggota KPU lainnya, yaitu Idham Holik serta August Mellaz, didampingi Deputi Bidang Dukungan Teknis Eberta Kawima di Media Center KPU, Jumat (24/3).
“Di Selasa (21/3) sebelum libur 2 hari kemarin, KPU telah mengajukan Memori Banding Tambahan. Dalam kesempatan ini, kami juga ingin menyampaikan bahwa kami menggandeng kuasa hukum atau pengacara, yaitu dari Heru Widodo Law Office,” ungkap Afifuddin dalam keterangannya.
Afifuddin pun menyampaikan sejumlah bahan yang disajikan pada Memori Banding Tambahan. Pertama, fakta tidak adanya mediasi atau upaya dari hakim terkait dengan perdamaian yang dilakukan. Menurut Afif, hal ini perlu disampaikan kepada publik mengingat mediasi atau upaya perdamaian justru menjadi pertimbangan hukum putusan PN Jakarta Pusat tersebut dalam mengeluarkan putusan.
“Di halaman 42 disebutkan, ‘Pengadilan telah mengupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menunjuk hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai mediator berdasarkan laporan mediator tanggal 26 Oktober upaya perdamaian tidak berhasil.’ Ini padahal tidak ada proses mediasi. selama ini memang belum kami sampaikan,” ungkap Afif.
Ketiadaan mediasi ini pula, menurut Afif, melanggar kewajiban hukum hakim sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat 3 Perma 1 Tahun 2016 sesuai Pasal 4 Perma 1 Tahun 2016 bahwa semua sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan mediasi, kecuali yang ditentukan lain.
“Gugatan ini tidak termasuk perkara yang dikecualikan oleh Pasal 4 huruf (a) Perma 1 Tahun 2016. Bukan sengketa yang ditentukan tenggang waktu penyelesaiannya,” ucap Afif.
Atas dasar pelanggaran ini, menurut Afif, pemeriksaan perkara yang dilakukan menjadi cacat yuridis. Selanjutnya, Afifuddin juga menyampaikan Memori Banding Tambahan memuat permohonan penangguhan pelaksanaan putusan serta-merta. Hal ini didasarkan pada alasan pemilihan umum (pemilu) harus dilaksanakan secara luber dan jurdil setiap 5 tahun sekali sebagaimana tertuang pada Pasal 22E ayat 1 UUD 1945. Kemudian, tidak dikenalnya penundaan pemilu pada UU No 7 Tahun 2017, melainkan hanya pemilu susulan serta lanjutan.
Alasan ketiga, adanya putusan yang saling bersinggungan pascaputusan PN Jakarta Pusat, yang mana Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) di tempat yang lain juga memerintahkan KPU untuk melakukan verifikasi administrasi perbaikan kepada Prima.
“Di sisi lain, berdasarkan putusan PN Jakarta Pusat, KPU diperintahkan menunda tahapan pemilu dengan serta-merta yang juga dimaknai, termasuk pula juga menunda tahapan verifikasi perbaikan, sebagaimana amar putusan Bawaslu dimaksud,” tambah Afif.
Hal lain juga disampaikan perihal kewenangan PN Jakarta Pusat yang tidak berwenang mengadili perkara sengketa pemilu (eksepsi kewenangan absolut). Tindakan KPU menetapkan Prima tidak memenuhi syarat administrasi parpol merupakan substansi yang diatur dalam UU.
Terakhir, KPU meminta pengadilan tinggi mengoreksi kekeliruan pendapat majelis hakim tentang unsur perbuatan melawan hukum. KPU, menurut Afif, telah melaksanakan kewajibannya dengan menjalankan putusan Bawaslu, yaitu memberikan kesempatan perbaikan berkas. (RLS/J1)